(Materi)
Kawan, sadarkan kita? Bahwa ada trauma yang mesti disembuhkan. Ada takut yang harus dilawan. Ada cemas yang baiknya dibuat lekas berlalu. Ada hujan di pipi yang hendaklah mereda.
Seusai dibuat patah. Seusai dibuat jengah. Seusai dibuat jatuh. Seusai dibuat runtuh. Seusai dibuat sedih, perih, pedih.
Meski, ada kalanya kita lelah. Merasa kalah. Merasa payah. Merasa tak pantas untuk siapapun. Bahkan untuk diri sendiri. Padahal baiknya kita membuat pantas untuk diri sendiri.
Pernah kita takut pada hal yang tidak pasti. Bahkan wujudnya terlihat jelas saja tidak. Namun kita justru merasa amat dihantui, disudutkan pada ruang gelap hitam pekat tanpa sedikit pun cahaya. Lalu terjebak tak berdaya hingga hilang kuasa.
Kawan, tatkala merasa seperti itu, bisa jadi ada yang salah dalam diri kita. Entah karena syukur yang kian luntur atau justru kufur yang kian menggempur. Entah karena kita kurang menyadari kelebihan yang kita miliki atau terlalu sibuk melihat gemerlap dunia milik orang lain tanpa mau melihat ke dunia milik kita sendiri.
Sudahlah, Kawan. Waktunya kita bangun gemerlap dunia kita sendiri yang tampak redup hanya karena keengganan kita untuk melihat potensi diri. Cukup, Kawan, cukup. Memangnya tidak lelah terus menerus melihat dunia milik orang lain? Sedang, dunia kita sendiri pun gelap.
Baik, kini saatnya ambil pena kita masing-masing yang menyatu dengan debu di sudut kamar itu. Lalu tuliskan satu kata yang mampu membangkitkan kita, yang mampu membuat kita percaya akan kemampuan diri sendiri, yang mampu kita berdaya dan bersaing untuk merebut kuasa.
Bisa.
Ya, cukup satu kata itu tanpa embel-embel kata lain yang tampaknya justru akan membuat segalanya akan begitu berlebihan. Cukup satu kata itu yang akan menjadi pemantik bara api yang ada dalam diri kita. Cukup satu kata itu yang membuat kita kembali percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk diperjuangkan, kembali. Cukup. Dan hanya itu.
Sekarang, perlahan. Pelan-pelan dan tak perlu terburu-buru untuk membuat jejak sekalipun harus merangkak. Tak apa. Tak perlu malu. Wajar saja, karena kita ini makhluk biasa. Makhluk yang tak memiliki kekuatan super. Makhluk yang hanya dianugerahi sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, padahal di sisi lain tidak ada yang sempurna.
Nikmati prosesnya, kurangi protesnya.
Perasaan tidak sabar kerap mendominasi kita, bahkan tak sungkan datang seolah menjadi penguji tatkala kita masih harus mengarungi samudra luas. Padahal ada keindahan yang ingin Tuhan suguhkan pada kita di antara hadirnya malam dan gemerlap bintang, yang semestinya kita nikmati dengan baik, kita resapi segala liku dan lukanya dengan hikmat.
Jadi, cukupkan. Cukup kita berprotes. Tuhan Maha Mengatur Segalanya. Sebab, protes hanya akan membuang-buang energi dan waktu yang kita miliki serta kadarnya pun amat terbatas.
Penuhi syukurnya, kurangi kufurnya.
Kawan, waktunya kita untuk mensyukuri apapun yang menjadi hasil dari jerih payah kita dalam berkarya. Sehina apapun itu di mata orang lain, justru akan lebih hina jika kita sendiri tak mampu menghargai hal yang sudah kita perjuangkan. Meski hasilnya tak sesuai ekspektasi, meski hasilnya berbanding jauh sekali, meski hasilnya justru mengganjal di hati.
Kawan, untuk bersyukur tak perlu menunggu saat kita berhasil melakukan hal besar dan lantas mendapatkan banyak pujian. Cukup, saat kita mampu terus melangkah meski patah-patah dan berdarah-darah seraya menahan dan menerima cacian juga hinaan dari orang-orang yang tak tahu arti perjuangan. Cukup, saat kita tidak memilih berhenti, padahal rasa lelah dan terbebani sudah setengah mati. Cukup, saat kita memilih berehat usai berhelat dengan hebat dan tetap memilih untuk bertahan karena percaya, bahwa Tuhan akan memberikan bahagia-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tips & Trik Tipis Menulis
Non-FictionDaripada materi yang pernah saya sampaikan di seminar menjadi tumpukan file. Jadi, saya berinisiatif untuk menyebarkannya pada khalayak dengan cara yang layak. Semoga bermanfaat. Mohon koreksinya kalau ada kekeliruan dalam penyampaian. Nb: Materi ti...