5. Tujuh Belas Agustus

13 0 0
                                    

"Sebenarnya pikiranmu sendirilah yang membuat duniamu seolah mencekam. Hingga dirimu tak sadar bahwa kacamatamulah yang membuat duniamu seolah tampak suram"

🍁🍁🍁

Detik jarum jam masih terus saja berputar dengan kecepatan yang konstan. Mataku terus saja memandangi jam yang menempel di dinding ruang keluarga depan kamarku sambil mengingat apa yang terjadi di malam hari.

Aku masih mengingat betul bagaimana jam dinding itu bisa menempel di sana. Dulu, sewaktu aku  dan Liya masih kecil, kira-kira umur 6 tahun kami diajak ke Pacitan oleh Abah, lima hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Di dinding rumah Mbah Kakung, panggilan akrabku, jam itu menarik perhatianku. Sejak kedatanganku ke sana, aku selalu melirik jam itu. Dan Mbah Kakung ternyata memperhatikanku. Mengerti jika cucunya seolah menginginkannya. Jadilah jam itu kami bawa pulang. Sesampainya di rumah, saat jam itu hendak dipasang di kamarku, Liya datang melihat jam itu. Tak ayal dia pun menginginkannya. Aku sempat menolak petmintaannya. Namun entah mengapa aku tak tega melihat rengekannya. Akhirnya jadilah kuberikan jam itu pada perempuan yang satu bulan empat hari lebih tua dariku yang sudah kuanggap sebagai kakak kandungku. Bagaimanapun, ia yang paling keras memaksa Abah agar aku tinggal disini. Hingga aku bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga, merasakan lembutnya dekapan seorang ibu, tegasnya seorang ayah, dan lelucon-lelucon yang dilontarkan dari sesama saudara setelah bertahun-tahun lamanya aku hidup tanpa suatu arti yang jelas.

Namun beberapa hari kemudian, entah kenapa ia memutuskan untuk memindahkan jam itu dari kamarnya ke ruang tengah seperti sekarang. Katanya, agar aku juga ikut merasakan manfaat jam yang diberi Mbah Kakung, agar semakin banyak orang yang merasakan manfaatnya, dengan seperti itu Mbah Kakung pasti semakin bahagia dan semakin mendapat banyak kebaikan. Ungkapnya dengan polos kala itu. Aku masih mengingat hal-hal kecil bersama Liya dulu. Menjadi anak kecil selalu menyenangkan. Tanpa beban. Lebih tepatnya anak kecil tak tahu bahwa beban berat sudah menunggu di depan sana. Ah, aku malah merindukan Liya, yang kini di pesantren dekat kotaku.

Aku kembali menatap jam yang penuh kenangan itu. Pukul 05:34. Aku kembali ke kamar mencari ponselku. Setelah berada di genggamaanku, kududukkan tubuhku di kasur. Aku mencari sebuah nama di kontak Whatsapp. Online. Segera kuketikkan sebuah pesan di sana.

"Ar, sepertinya aku ga bisa ikut paskib hari ini".

Ya, hari ini aku ditugaskan menjadi paskibra kecamatan mewakili sekolahku. Mengibarkan bendera merah putih di hari peringatan kemerdekaan merupakan suatu hal yang aku inginkan sejak bangku SMP. Dulu, aku ingin bisa sampai Kabupaten, tapi karena tinggiku tidak mencukupi aku hanya bisa menjadi paskibra kecamatan. Alhamdulillah, setidaknya keinginanku bisa terpenuhi.

Ponselku bergetar, kulihat notifikasi pesan dari Arfi.

"Hah?!!"
"Edan kamu Reksa"
"Pokoknya harus ikutt titik!!".

"Tapi aku bener-benar ga bisa Ar".

"Kenapa?"
"Ibumu?"
"Reksa??"
"Woiii"

Aku hanya membaca pesannya. Tak sesikitpun keinginan ku untuk membalasnya. Lagi pula, tebakannya sangat tepat untuk menjawab pertanyaannya. Aku benar-benar kacau hari ini. Sedetik kemudian panggilan suara masuk di ponselku.

"Arfi". Gumamku dengan kening sedikit kukerutkan.

🍁🍁🍁


Matahari semakin meninggi. Sinarnya menembus pori-pori kulit hingga peluh pun keluar melihat apa gerangan yang membuatnya berada di permukaan kulit. Katanya peluh merupakan bentuk adaptasi tubuh manusia karena suhu lingkungan yang meningkat. Panas diterima kulit, dibawa (proses keringat).

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang