8. Titik Pemecah Bisu

13 0 0
                                    

"Apa yang ingin kau katakan, katakanlah Hanin. Sebelum kesempatan itu pergi".

🍁🍁🍁

Sabtu, 7 Oktober 2017

Kau menghentikanku di jalan kecil itu. Kau membawaku ke sebuah tempat yang tak pernah ku lupakan setelah itu. Sebuah tempat yang menjadi titik pemecah bisu, juga sebuah tempat yang menjadi titik ku mengenal dirimu. Dengan dalam. Dan lebih dalam. "Ini salah satu tempat kesukaanku", katamu kala itu sambil membuka helm coklat-hitam milikmu. Sebuah tempat yang tidak terlalu ramai dengan hamparan warna hijau sejauh mata memandang. Di ujung kehijauan itu, terlihat sebuah gundukan tinggi berwarna biru, seperti akan menyundul langit. Kau menunjuk ke arah gundukan biru yang tinggi itu lalu berkata "Aku menyukainya, apa kau juga suka?", tanyamu sambil tersenyum padaku. Kau tahu, saat itu aku ingin mengatakan bahwa "daripada gundukan langit biru itu, aku lebih menyukaimu, Hanin", tapi kuurungkan. Sebab, saat itu, aku masih kalut dengan keadaan yang tak mau berkompromi. Atau, aku yang terlalu senang kau ajak ke tempat yang kau suka.

-Di sebuah tempat yang kau suka
Reksa.

"Kau mengajakku ke sini, mengapa?." Tanyaku untuk memecah rasa penasaranku, sebab Hanin yang ku tahu ia tak mudah mengajak seorang lelaki pergi bersamanya. Apalagi yang baru dikenalnya, seperti diriku.

"Tidak apa-apa." Ia diam setelah mengatakan itu. Sampai suaranya yang berikutnya memecah keheningan diantara kita.

"Tadi..aku melihatmu di jalan.." Dan ia pun terdiam lagi. Ia mengatakan sebuah kalimat yang sepertinya belum terselesaikan.

"Apa yang ingin kau katakan, katakanlah Hanin. Sebelum kesempatan itu pergi". Ia menghela napas panjang. Lalu mengulangi kalimatnua yang tadi tak diselesaikan. "Tadi aku melihatmu di jalan, saat aku mau ke toko buku. Lebih tepatnya saat di perempatan jalan. Kau melewatkan lampu merah, dan yang lebih parahnya lagi, kau berkendara seperti tak tahu arah". Ucapmu dengan hati-hati.

"Maksudnya?". Tanyaku heran, mengapa dirinya tahu bila saat itu aku sedang berkendara tanpa mengenal arah. Dan sejak saat itu pula, aku mulai mengerti bahwa ia memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dibanding perempuan lain.

"Mmmm". Gumamnya sambil memikirkan apa yang hendak dikatakannya. "Seperti ada masalah yang ingin kau hindari, tapi tak tahu kemana harus menghindar. Atau, seperti ada masalah yang belum terselesaikan, tapi tak tahu bagaimana harus menyelesaikan?".
Ungkapnya memberi jawaban sekaligus pertanyaan

"Haaaa", ucapku dengan bingung yang kubuat-buat untuk menutupi bahwa apa yang dikatakan memanglah benar. Lebih jauhnya lagi, aku ingin mendengar lebih banyak lagi tentang apa yang ia tahu tentangku saat itu. Dan ternyata, apa yang kuupayakan berhasil. Ia berbicara panjang lebar tentang apa yang ia tahu saat itu. Apa yang kau terka tentangku saat itu. Dan aku menyukai itu.

"Iya, maksudku, kau berkendara dengan tatapan kosong, kau membawa serta dirimu berkendara di jalan tapi tidak dengan pikiranmu. Kau tahu, jika itu tindakan yang membahayakan. Pertama, kau berkendara tanpa memakai helm di jalan raya. Itu sudah salah. Selain taat aturan, kau tahu helm sebagai pelindung kepala dari hal-hal yang membahayakan, ya meskipun kita tidak pernah menginginkan hal itu terjadi. Setidaknya kau sedia payung sebelum hujan. Kau pernah dengar pepatah itu kan?. Kedua, kau melewatkan lampu merah begitu saja padahal keadaan jalan saat itu sedang ramai-ramainya. Kau tahu?, banyak kasus kecelakaan terjadi juga karena pengendara yang hilang fokus. Dan.."

"Dan kau mengkhawatirkanku." Ia nampak tengah terdiam sejenak merenungi kata-katanya setelah aku memotong pembicaraannya.

"Tidak". Jawabnya datar.

"Lalu?." Tanyaku padanya.

"Dan..". Kau mencari-cari jawaban sambil memutar bola matamu.
Sejak saat itu aku jadi tahu, jika saat resah kau suka memutar bola matamu.

"Dan yang terakhir, kau tidak boleh mengulanginya."

"Kenapa?."

"Ya karena berbahaya. Apalagi?".

"Kau mengajakku kesini hanya untuk mengatakan itu?". Aku tidak tahu, sebenarnya alasan apa yang membuat ia mengajakku kesini. Apapun itu, aku senang.

"Sebenarnya, aku hanya ingin mendengarkamu. Tapi, karena sedari tadi kau terus diam aku terpaksa mengatakan itu. Maaf".

"Maaf diterima jika kau mau aku temani ke toko buku. Kau tadi tidak jadi ke toko buku kan?".

"Kenapa ada persyaratannya segala?".

"Ya udah kalau ga mau". Aku senang mencari kesempatan di saat-saat seperti ini.

"Eh". Ia berdecak lalu menghela napasnya setelah erpikir sejenak. "Yaudah".

Aku lalu segera beranjak dari dudukku. Mengajaknya bergegas ke toko buku sebelum matahari mulai meninggi. "Yukk"

"Kemana?".

"Toko buku kan".

"Besok aja, setelah ini aku ada acara. Lagi pula aku masih ingin di sini sebentar".

"Boleh aku tau kau ada acara apa?".

"Kenapa?, mau ikut seperti waktu kemarin aku mau ke toko buku?". Aku tercengang mendengarnya, bukan karena seseorang yang tertebak isi pikirannya, tapi tercengang karena ternyata ia bisa bergurau juga. Lagi pula, aku memang sedang tidak memikirkan hal itu.

"Kau meledekku?".

Ia tertawa kecil lalu melanjutkan "Tidak".

"Lalu?".

"Aku mau mengerjakan tugas kelompok".

Aku sedikit kecewa mendengarnya dan berusaha untuk menutupinya. Tapi, tak apa, setidaknya aku masih memiliki sedikit waktu bersama Hanin. Kukembalikan tubuhku ke posisi duduk seperti sebelumnya. Kali ini, diam menjadi penengah diantara aku dan Hanin. Dan aku mencoba untuk memecahnya.

"Hanin".

"Iya?".

"Sebenarnya, apa yang ingin kau dengar dariku?". Tanyaku padanya.

"Apa yang menjadi alasan lahirnya tatapan kosong itu".

"Kau sungguh ingin mendengarnya?". Ia menganggukkan kepala seraya menatapku sebentar.

"Jika kau mau mengatakannya".

🍁🍁🍁


Ternyata benar, Hanin lah yang mengikuti Reksa🙃

Tapi..kira-kira apa yang akan Reksa katakan?🤔

Tunggu kisah selanjutnya yaa😃

Terima kasih telah membaca kisah Reksa🥰

Semoga doa baik terkabul untukmu hari ini😊

Salam🌺

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang