Matahari mulai meninggi. Tak ada yang menemaninya di kaki langit pagi ini. Bahkan awan yang biasanya mengiringi langkahnya tak kunjung menghiasi birunya langit yang sangat tinggi. Hanya ada kabut tipis yang menghalangi cahaya dari bintang bulat yang menjadi pusat tata surya galaksi bima sakti.Bintang yang suhunya mencapai 5778 K itu sering kali singgah dalam bait-bait puisi dengan nama surya atau mentari. Namun dalam keseharianku aku lebih mengenalnya seperti halnya orang-orang yang menyebutnya dengan sebutan matahari. Jika dibandingkan dengan bumi, matahari memiliki diameter lebih besar dari bumi, yaitu sekitar 1,39 juta km atau kira-kira 109 kali diameter bumi. Namun, jika dibandingkan dengan Stephenson 2-18, bintang terbesar saat ini, ukuran matahari jauh lebih kecil, karena jari-jari Stephenson 2-18 yaitu 2150 kali jari-jari matahari. Sungguh besar bukan?. Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan bumi, tempat tinggal manusia?. Mungkin jika disandingkan seperti bola basket dengan serpihan kerikil, atau mungkin lebih kecil lagi?. Entahlah, aku pun tak tahu pasti seperti apa persisnya. Yang aku tahu, bahwa manusia tak ada apa-apanya di jagad raya ini. Hanya seperti partikel kecil yang ditiupkan ruh ke dalamnya. Namun terkadang manusia lupa akan hal itu. Yang menjadikannya merasa paling berkuasa di dunia fana ini. Melakukan ini itu untuk memuaskan kesenangan semu seolah-olah semua itu tak akan dipertanggungjawabkan nantinya.
Dan dari sini aku mengerti, ada banyak sekali cara untuk bisa berangkulan dengan-Nya. Dari menikmati indahnya langit beserta pernak-perniknya yang bisa dilihat oleh jutaan pasang mata umat manusia, dari situ terselip banyak sekali tanda-tanda akan kebesaran-Nya. Yang menjadikan manusia semakin percaya akan adanya Sang Pencipta. Atau, melalui buku-buku sekolah yang dulu aku sempat berpikir untuk apa mempelajarinya?. Namun sekarang aku tahu, terkadang kebermanfaatan sesuatu yang dipelajari tidak harus dirasakan saat itu juga, tapi bisa esok harinya atau bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Karena itulah Abah selalu mengingatkanku untuk tak henti-hentinya meningkatkan pemahaman diri.
Berbicara tentang Abah, aku malah kesal sendiri. Hampir saja aku terlambat karena harus mendengarkan perkataan panjang lebar Abah tadi pagi. Walau menurutnya itu untuk kebaikanku sendiri, tapi aku tetap belum bisa menerimanya. Ditambah lagi pikiran-pikiran semuku yang akhir-akhir ini selalu bermunculan entah dari mana asalnya.
Lama kuberpikir, hingga akhirnya aku tersentak kaget kala aku melihat anak-anak lain tengah merapikan barisan di lapangan. Cepat-cepat aku membuka tasku, mengambil topiku dan memakainya di kepalaku. Kubiarkan saja tasku tergeletak di koridor bersama tas coklat lain entah milik siapa. Karena untuk menuju kelas juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Cepat-cepat aku berlari menuju barisan yang terdengar sangat berisik itu.
Ku hela napas panajangku kala aku sampai pada tempatnya. Berharap lelahku ikut luruh bersama napas yang kuhela.
"Telat lagi?", tanya teman di sampingku, Arfi. Dia adalah temanku sedari kecil. Yang di matanya menempel sebuah kaca untuknya melihat lebih jelas.
"Hampir", jawabku.
"Lebih baik hampir terlambat daripada sudah terlambat", ucapnya tanpa menoleh kearahku. Pembawannya yang tenang dalam keadaan apapun menjadi kekaguman tersendiri bagi diriku, yang membutuhkan ketenangan dalam dunia yang penuh kenangan.
Aku hanya mengangkat bahuku, tak memberi tanggapan apa-apa. Karena suara master of ceremony telah membuka acara di pagi yang berkabut ini. Membungkam suara-suara yang awalnya terdengar sangat ramai kini senyap begitu saja. Seolah ikut menyambut kedatangan suara perempuan yang berdiri di pojok lapangan sana.
***
Aku berjalan agak santai saat ini. Karena kini waktu tak mengejarku lagi. Bukan karena waktu telah berhenti. Hanya saja, ia ingin memberiku sedikit ruang pagi ini. Untuk menikmati ramainya keadaan diluar jiwa yang berbalut sepi.
Ku ambil tas hitamku, yang selalu menemaniku selama dua tahun terakhir ini. Tak seberat tas-tas anak lain yang berkaca mata. Namun isinya, cukup menjadi santapanku hari ini.
Ku balikkan badanku hendak kembali ke kelas. Saat baru saja kuputar badanku, aku menatap sesosok perempuan yang tak asing di mataku tapi terasa asing di hatiku. Sosok yang mungkin akan kamu-entah siapa-pertanyakan nantinya. Mungkin.
"Salwa", sapaku agak bimbang.
Ia menatapku tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, lalu mengalihkan pandangannya pada tas coklat yang menemani tas yang sempat kutinggalkan, sebelum ia menjawab sapaanku tadi.
"Reksa, hey".
Hanya itu kata yang bisa kudengar darinya. Setelah meraih tas coklat yang ternyata miliknya lalu pergi tanpa menitip kata.
Banyak sekali tanda tanya di benakku ini. Aku bergegas menuju kelas dengan sedikit berlari untuk mencari tahu sebenarnya apa yang tengah terjadi saat ini. Mungkin disana akan kutemui jawabnya.
"Ar", sapaku setengah berbisik sambil memukul lengannya.
"Salwa di sini?", lanjutku.
"Salwa siapa?", tanyanya bingung sambil mengerutkan dahinya. "Duduk dulu lah", pintanya dengan mengalihkan pandangan ke kursi sebelahnya.
"Salwa, Ar. Salwa Ameeral", jelasku padanya.
Arfi begitu bingung kala aku menyebut nama itu, sama bingungnya kala aku melihatnya di koridor pagi ini.
"Di mana?, kamu yakin?", selidiknya padaku.
"Iya, aku sangat yakin kalau itu memang dia. Aku tahu betul seperti apa dirinya. Tidak mungkin juga aku salah orang Ar. Tadi dia juga balik menyapaku setelah aku menyapanya", jelasku padanya.
Lalu kuceritakan bagaimana aku bisa bertemu dengannya. Tanpa ada yang aku sembunyikan karena memang aku tak ingin menyembunyikan apapun tentangnya. Mulai dari kehampir terlambatanku tadi pagi. Sampai tas coklat yang menyandingi tas hitamku. Aku ceritakan semuanya pada Arfi.
"Bagaimana kalau pulang nanti kita cari tahu tentang keberadaannya di sini?", tawarnya.
"Boleh". Aku menganggukkan kepala tanda menyetujui perkataan Arfi.
Meski masih dipenuhi tanda tanya yang menghantui pemikiranku, tapi setidaknya, ini akan menjadi misiku sore ini. Memecahkan misteri kedatangan pemilik tas coklat yang bersanding dengan tas hitamku pagi ini. Semoga saja teka-teki ini segera terjawab dengan adanya kepastian-kepastian yang kutemui.
Entahlah..
Coklat itu milikmu
Hitam ini milikku
Lantas, bagaimana jika coklat dan hitam bersatu?
Akankah coklatmu lenyap dengan adanya hitamku?
Atau, membaur menjadikan warna baru?
Senin, 31 Juli 2017
Reksa🍁🍁🍁
21 Oktober 2020
senjauni
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomanceSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti