9. Di Sebuah Jalan yang Lengang

14 0 0
                                    

"Dan, lingkaran pemahaman manusia bersifat dinamis yang bisa meluas seiring bergulirnya waktu. Dan sudah menjadi tugas manusia untuk terus bergerak memanjangkan diameter itu".

🍁🍁🍁

Senja datang, mentari pun menghilang. Malam datang, kegelapan tak kunjung hilang. Malam terasa begitu panjang, bagi manusia yang merindu sang fajar. Bumi, kini diselimuti temaram sinar bulan, juga gemerlap bintang. Seorang anak kecil berkata bahwa bintang begitu kecil. Sedang para ilmuwan berkata bahwa bintang begitu besar. Tak ada yang salah memang, sebab ini hanya tentang perbedaan sudut pandang. Namun, beberapa manusia bersikukuh mencari satu yang benar. Dan ironinya, ini tak hanya tentang bintang. Melainkan tentang apa-apa yang banyak berserakan di muka bumi. Begitu, selalu. Memaksa. Padahal, benang merah yang saat itu dipegang hanya berdasar pada area dalam lingkaran pemahaman, sementara di luar itu masih ada area tak tak terbatas yang belum dan atau tidak dapat dijangkau manusia. Dan yang perlu diingat adalah tempat dimana lingkaran itu bermukim mungkin berbeda, dengan luas yang berbeda pula. Dan, lingkaran pemahaman manusia bersifat dinamis yang bisa meluas seiring bergulirnya waktu. Dan sudah menjadi tugas manusia untuk memanjangkan diameter itu.

Perjalanan baru dimulai malam itu. Malam yang sunyi. Malam yang dingin. Namun tak tahu apakah sedingin sikapnya kala itu. Ia mengendarai sebuah mobil putih keluar dari perumahan, tempatnya ia tinggal. Melajukan mobilnya dengan kecepatan konstan selepas menemui jalan yang lebar, 68 km/jam. Sebuah jalan beraspal dengan tanaman tumbuh sebagai pembatas kedua sisi jalan, kiri dan kanan. Memutari hamparan rumput di tengah kota, lalu mengambil arah barat. Tanaman itu masih menjadi pemisah kedua sisi, namun di sana, warna ungu yang lahir dari bunga terlihat dominan. Ya, tanaman itu sudah berbunga, cantik. Sesekali terpisah oleh jalan berbelang. Lalu tersambung kembali, begitu seterusnya. Sampai kali ke enam.

Jalan kembali bercabang. Kali ini, mobil mengambil ke sisi kanan. Tak ditemui tanaman sebagai pembatas jalan. Yang ada hanya beberapa garis putih yang membujur sepanjang utara-selatan. Berjejer sebanyak empat hitungan. Layar bercahaya, ponsel bergetar. Waktu menunjukkan pukul 23.46, ramai masih sesuai untuk menggambarkan keadaan kala itu. Berbagai macam kendaraan masih banyak berkejar-kejaran di atas jalan yang sama. Namun selepas mobil mengambil arah kanan menuju jalan kecil, kata itu tak lagi sesuai untuk menggambarkan keadaan yang dilihat saat itu.

Klasik. Mungkin kata itu yang dapat mewakili suasana saat itu. Dibanding di perjalanan sebelumnya yang banyak dijumpai bangunan-bangunan tinggi, megah dengan gaya modern, gedung gubernur, gedung pramuka, atau gedung kepolisian. Kali ini, nuansa klasik terasa begitu kental. Nampaknya, mobil tengah memasuki kawasan kota tua. Sepasang kekasih terlihat tengah berfoto ria. Sepasangnya lagi memilih duduk di bangku kayu sembari memandangi gemerlap bintang yang jauh di sana. Menunjuk ke atas. Lalu tertawa. Bersama.

Tak lama setelah itu, mobil berhenti. Seseorang membuka pintu dan masuk kedalamnya. Menutup pintu, lalu melaju. Hingga pada pemberhentian yang kedua, salah seorang dibalik mobil itu turun meninggalkan kemudi yang sedari tadi ia jaga. Entah apa yang dilakukannya kala itu. Dengan waktu tak kurang dari sepuluh menit ia kembali. Dengan baju yang telah berganti. Ia masuk kembali, tapi kali ini, tak di depan kemudi.

Mobil kembali melaju, dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi. Mungkin, 28 km/jam. Tak ada yang bisa dilihat saat mobil melaju dengan kecepatan yang lamban. Tak ada bangunan menjulang tinggi, tak ada kerlip lampu di tepi, dan tak ada suara mesin hidup selain suara mesin mobil itu sendiri. Sesekali suara burung malam terngiang di telinga kanan dan kiri. Lalu sunyi. Ditambah suhu yang lumayan tinggi. Berhasil menarik asusmi, bahwa mobil sedang melaju di persawahan yang tak banyak manusia menghuni.

Dan, asumsi benar. Mobil melaju di sebuah jalan sepi. Di tepi kiri jalan, rel kereta api membujur dari barat ke timur. Rupanya, persawahan dekat stasiun kereta api yang dipilih menjadi titik pemberhentian yang ke tiga kali.

Pada pemberhentian yang ketiga kali. Semua orang yang sedari tadi melaju di dalam mobil turun. Terhitung ada tiga orang. Seorang wanita yang mengenakan cardigan navy, dan dua orang laki-laki, satunya memakai jeans semata kaki dan yang satunya masih anak-anak lima tahunan mengenakan setelan bergambar kartun power rangers.

"Ibu, mengapa kita turun di sini?". Tanya anak kecil itu mengharap sebuah penjelasan. Setidaknya, ia bisa menerima kalimat yang mampu menenangkan pikirnya yang dipenuhi tanda tanya mengapa dan untuk apa mereka turun di sebuah jalan yang sepi. Tapi, rupanya tanda tanya masih ingin menemani kepala si kecil dalam sunyinya malam dan dinginnya sikap wanita itu. Sebab, sedari tadi, tak satupun pertanyaan si kecil yang digubris wanita yang disapannya ibu.

"Apakah mobil kita mogok bu?". Si kecil mencoba menerka dengan polosnya.

"Tidak, Nak. Kemarilah, ikut Ibu". Wanita itu menggandeng tangan si kecil, membawanya melalui gang sempit dan berhenti di sebuah gubuk reyot.

Seorang lelaki yang tadi bersama mereka datang dari arah berlawanan dari arah datangnya si kecil. "Aman". Ucap si lelaki pada wanita itu

"Sudah ada kabar?".

"Belum, kita tunggu dulu beberapa saat lagi. Jika belum ada kabar juga, kita langsung pergi saja dari sini". Jawabnya yang dibalas dengan anggukan kepala oleh sang wanita.

Setelah menunggu beberapa lama, si kecil yang sedari tadi menahan kantuk yang sangat hebat kini mulai memasuki alam bawah sadarnya. Perlahan, ia memejamkan mata. Terlelap dalam tidurnya. Namun, belum puas ia menyelesaikan mimpinya, tiba-tiba ia mendengar suara mesin mobil yang mengganggu telinganya. Kesadaran si kecil yang belum terkumpul seluruhnya dipaksa oleh keadaan untuk segera mengkoordinasikan anggota tubuhnya untuk segera bekerja. Ia terhenyak kaget, sebab sejak suara mesin mobil dinyalakan, ia tak merasakan kehadiran sang ibu di sampingnya. Ternyata, selain mengganggu telinganya, suara mesin mobil juga menumbuhkan ketakutannya. Dan benar saja, saat si kecil membuka kedua matanya ia tak menjumpai dua orang yang tadi bersamanya.

Ia memanggil-manggil nama Ibunya, tapi tak ada jawaban. "Ibu..Ibu..dimana Ibu..". Begitu terus bibirnya yang bergetar diselimuti rasa takut dan dingin yang terasa sampai ke tulang-tulang. Sampai ia memberanikan diri keluar dari gubuk reyot tempatnya singgah, berjalan keluar gang sempit yang dipenuhi tumpukan rongsokan barang-barang yang mungkin sengaja dibuang pemiliknya.

"Itu mobil Ibu". Gumamnya dalam hati. Ia mendekati mobil yang masih menyala mesinnya. Ia percepat langkah kakinya. Berharap di dalam sana, Ibunya menunggu dirinya dan akan membawanya pulang. Atau, membawanya ke mana saja, asal bersama ibunya, si kecil akan tetap senang.

Sesampainya di samping pintu mobil, ia ketuk kaca mobil tiga kali. Tok..tok..tok.. "Ibu". Panggilnya memilukan. Tetap tak ada jawaban. Ia beranikan untuk membuka pintu, sebab sesuai apa yang tengah ia pikirkan, mungkin si Ibu tertidur di dalam mobil sepertinya. Ia berhasil meraih gagang pintu mobil dengan tangan kanannya, dengan penuh keyakinan ia tarik tangan mungil itu dengan pelan. Dan saat pintu mobil terbuka.

Duarrrr

Di sebuah jalan yang lengang, sebuah ledakan terdengar. Suara jeritan anak manusia pun mengerang.

🍁🍁🍁

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang