"Apa yang paling menyakitkan dari sebuah rasa rindu, ialah ketika ia tahu bahwa temu yang menjadi penawarnya tak akan mungkin lagi terjadi".
***
Ini bagianku.
Jemariku baru saja selesai menggenggam sebuah pena hitam yang kuletakkan di sebuah gelas putih di sudut meja ini. Kupandangi coretan demi coretan tinta yang akhirnya membentuk sebuah kalimat nan panjang tentang apa yang terjadi hari ini. Tentangmu. Tentang hari-hari yang terlewatkan.
Kamis, 28 November 2019
Rindu. Apa yang paling menyakitkan dari sebuah rasa rindu, ialah ketika ia tahu bahwa temu yang menjadi penawarnya tak akan mungkin lagi terjadi. Hanya saja, para perindu akan selalu tetap berharap bahwa temu akan terjadi melalui mimpi. Ya, mimpi. Itulah mengapa, akhir-akhir ini aku selalu dan ingin selalau bermimpi tentangmu. Sebab, hanya dengan itulah aku bisa menurunkan sedikit kerinduanku padamu. Aku menghabiskan lebih banyak waktuku berada di atas tempat tidur bahkan ketika mata ini sulit untuk terpejam. Aku berandai-andai jika aku bisa mengulang waktu, aku ingin mengulang akhir pertemuan kita malam itu dengan cara yang lebih indah. Bukannya aku tak merelakanmu pergi, hanya saja aku menyayangkan akhir pertemaun kita dengan cara yang seperti itu. Tidakkah ada cara lain yang lebih indah?, yang jika dikenang akan menjadi peristiwa paling manis antara aku denganmu?. Mengapa harus seperti itu, mengapa harus diakhiri dengan sebuah pertengkaran kecil itu?.
Aku mulai beringsut dari tempat tidurku. Namun rasa rindu itu terus saja mengikutiku hingga menuntun langkahku ke rumah barumu. Aku melihat bunga-bunga di atas rumahmu, merah, merah muda, putih, semua bercampur aduk dari atas hingga bawah rumahmu. Mereka yang menaruhnya pastilah ingin selalu agar dirimu diliputi doa-doa baik untuk ketenanganmu. Pun halnya aku di situ. Kutaburi bunga-bunga nan cantik di atas rumahmu, semoga ia selalu berdoa untuk ketenanganmu.
Kurapalkan seuntai doa, semoga tanah ini berkenan menjadi selimut paling hangat yang pernah kau punya sebelumnya, semoga langit berkenan menjadi atap rumah terindah yang pernah kau tempati, semoga sepetak ruang di bawah sana menjadi tempat tidur ternyaman untuk rebahmu, dan semoga pepohonan selalu meniupkan angin yang membawa kedamaian untukmu.
Hari ini, aku datang untukmu.
Aku, merindukanmu.
Ketika aku hanyut dalam waktu yang membawaku mengingatmu, tiba-tiba saja sebuah suara lembut yang pernah kudengar menyapaku. Tangannya menempel pada bahu kananku.
"Heii, sudah lama?", sapanya dengan seuntai senyum yang menghiasi bibirnya.
"Eh, Ibu". Ia lalu meletakkan seikat bunga di atas rumahmu. Menyiram air yang dibawanya, dan mengelus-elus kayu putih layaknya mengelus kepala putranya.
Ia terlihat khusyu' menyenandungkan doa-doa pada-Nya. Dengan matanya yang terpejam, aku bisa melihat kedamaian pada raut wajahnya. Bagaimana mungkin ia bisa setenang itu di hadapan makam anaknya. Apakah ia pernah menyangkal ketiadaanmu?, apakah ia pernah menyayangkan kepergianmu?, atau apakah ia sudah merelakanmu?, tapi secepat itukah?.
Aku terperanjat ketika ia membuka matanya dan menoleh ke arahku. "Kenapa?", tanyanya.
"Sudahkah Ibu menerimanya?", tanyaku tiba-tiba yang disambut senyuman tipis darinya.
"Kita harus menerima apa yang sudah terjadi pada kita. Apapuun itu, Tuhan tidak pernah salah menentukan jalan cerita".
"Tapi secepat itukah?, maksudku bagaimana Ibu bisa merelakan kepergiannya ketika Ibu ingin sekali memulai kembali kebersamaan dengannya?", apa yang tadi aku pikirkan kutumpahkan pada sumber jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomantikSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti