Entahlah, tapi saat itu, aku berharap kamu ada di situ, melihat apa yang belum pernah terlihat, mendengar apa yang belum pernah terdengar.
***
Di bawah gemerlapnya bintang-bintang, aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan sedang. Aku selalu menikmati momen berkendara di tengah keheningan malam. Rasanya sangat menenangkan, hanya saja, aku yang sensitif terhadap cahaya, tak begitu menyukai sorot lampu depan kendaraan yang melaju berlawanan arah denganku. Apalagi, jika pancaran cahaya itu tepat mengenai pupil mataku.
Satu jam sebelum aku menemuimu, aku dikejutkan oleh sebuah pesan yang datang dari wanita yang memesan kopi di kafe waktu itu. Ya, Saida, perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai kreator lukisan yang sedang mencari inspirasi di kafe waktu itu. Aku masih ingat betul bagaimana terkejutnya dirimu ketika ia tiba-tiba duduk di sebelahmu, bagaimana perubahan raut wajahmu ketika ia memperlihatkan kartu anggota dewan seni kota waktu itu. Kamu yang awalnya tak percaya pada perempuan itu, tampak kikuk dibuatnya. Hingga kamu pun berusaha menutupi rasa malumu itu dengan bertanya ini itu padanya. Apa yang membuatnya tertarik masuk ke dewan seni, kapan ia masuk di sana, mengapa ia suka menjadi kreator lukis, dan pertanyaan lain tentang hal yang serupa. Sungguh aku ingin tertawa melihatmu saat itu, tapi aku mengakui bahwa aku menyukai caramu yang seperti itu, terlebih aku menyukai dirimu yang ingin tetap terlihat biasa saja walau sebenarnya sedang kikuk luar biasa.
Hingga pada akhirnya kita saling bertukar kontak karena kita memiliki ketertarikan di bidang yang sama, seni. Namun ternyata, selain seni, ada misi lain yang dibawanya ketika memesan kopi untuk dibawa ke meja kita.
"Hai Hanin, duduk".
Saida mempersilakanku duduk di kursi depannya, lalu memesankan minuman untukku dan satu lagi entah untuk siapa. Saida lalu menyerutup minumannya yang tinggal setengah.
"Sudah lama menunggu ya?, maaf".
"Oh, tidak apa-apa. Lagian kita masih harus menunggu satu orang lagi". Melihatku yang kebingungan, Saida lalu menjelaskan, "Oh iya, sebelumnya saya minta maaf, sebenarnya saya bukannya ingin membicarakan tentang pameran di kota, saya ingin minta tolong tentang hal lain".
Aku semakin tidak mengerti apa yang akan dikatakan Saida, sebab saat ia memberi tahu ingin bertemu, ia mengatakan bahwa ingin membicarakan kelanjutan dari obrolan kita kemarin, dan yang kutangkap aku dan Saida hari itu pun akan membicarakan tentang seni juga. Tapi, perkataan Saida barusan malah membuatku bingung.
"Tentang?".
"Kita tunggu orangnya datang, ya".
Saida lalu mengalihkan pembicaraan tentang pameran yang akan diselenggarakan di kota. Sesekali Saida pun bertanya tentang dirimu. Seolah, ia adalah orang yang sudah lama mengenalmu.
"Sudah lama kenal dengan Reksa?", ia mulai bertanya tentangmu.
"Mmmm, belum terlalu lama sih", jawabku sembari mengingat-ingat kapan pertama kali kita bertemu.
"Belum terlalu lama, tapi..". Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya, tapi ia malah tertawa berucap "Apa kamu tidak memperhatikan caranya menatapmu itu berbeda dari caranya mentapa orang lain".
"Maksudnya?". Saida mulai berbicara seolah ia sudah mengenalmu sejak lama.
"Ya.., selama ini dia juga jarang mau mengajak perempuan duduk berdua seperti kemarin denganmu, kan?. Sepertinya dia menaruh ketertarikan padamu, Hanin". Saida tersenyum setelah itu, terlihat ada binar di matanya yang bulat itu.
"Dari mana kau tahu ia jarang jarang mau mengajak perempuan duduk berdua seperti kemarin?. Kau berbicara seperti sudah mengenalnya dari lama".
"Ya, itu sebenarnya yang akan kita bicarakan nanti". Saida lalu mengecek ponselnya, dan jari-jemarinya terlihat bergerak di atas layar ponsel. "Orang yang kita tunggu sudah sampai". Saida lalu menoleh ke arah pintu masuk, menunggu seseorang yang entah siapa memasuki pintu itu. Hingga ketika ada seorang perempuan yang mengenakan dress panjang berwarna cream, Saida langsung melambaikan tangan dan menyambutnya dengan senyum mengembang.
Perempuan itu pun duduk di sebelah Saida, tak lupa ia menyapaku dengan anggukan kepala dan senyum yang membuatnya terlihat sangat anggun meskipun di usianya yang kutebak sekitar empat puluhan itu.
Saida pun mengenalkanku padanya. Dan, betapa terkejutnya aku bahwa ternyata perempuan yang berada di depanku ialah orang yang selama ini kamu ceritakan padaku.
"Hai, Hanin, perkenalkan ini Puti, dia yang sebenarnya ingin berbicara denganmu, dia.." Lagi-lagi, Saida menggantungkan kalimatnya, ia lantas mengangguk pada perempuan itu yang berbegas disambut jawaban darinya. Mungkin bukan jawaban, tapi sambungan kalimat Saida.
"Saya ibunya Reksa", ucapnya dengan mantap.
Aku masih tak mengerti sebetulnya, keadaan apa yang sebenarnya aku alami saat itu, siapa Saida, siapa Puti, mengapa aku bisa berada diantara keduanya, padahal, ya, kau tahu aku baru mengenal Saida tak lama ini.
"Hanin", panggilnya dengan lembut tanpa keraguan. "Boleh saya minta tolong?".
"Minta tolong apa?", jawabku dengan ragu.
"Saya tahu Reksa lebih mempercayaimu lebih dari saya", setelah diam sejenak, suara itu kembali menyusuri lorong telingaku, suara yang tulus dan terdengar penuh harap. "Tolong katakan padanya untuk kembali memikirkan keputusannya tentang kelanjutan studinya. Karena bagaimanapun, saya ingin ia memiliki masa depan yang lebih baik dari saya. Jika ini akan dimaknai sebagai cara agar saya dapat tinggal kembali bersamanya, ya, jujur itu bukan juga hal yang salah. Setelah saya melewatkan tahun-tahun yang hilang bersamanya, saya tidak menyaksikan tumbuh kembangnya, tidak tahu bagaimana hari pertamanya di sekolah, apakah ia antusias atau takut, di bangku yang mana ia duduk, dan dengan siapa. Rasanya ini adalah cara yang paling tepat untuk menambal cerita yang hilang itu. Namun, mungkin itu hanya alasan ke sekian, lebih dari itu, sekali lagi, saya hanya ingin ia memiliki hidup yang lebih baik dari saya".
Percayalah, ketika kamu ada di sana saat itu, kamu mungkin akan luluh dengan perkataannya. Aku tidak menemukan apapun selain ketulusan yang aku dengar dari suaranya dan harapan dari sorot matanya.
Ada sesuatu yang sedang berusaha diingatnya, mungkin kenangan-kenangan singkat denganmu, atau hari-hari yang hilang darimu. Entahlah, tapi saat itu, aku berharap kamu ada di situ, melihat apa yang belum pernah terlihat, mendengar apa yang belum pernah terdengar.
"Hanin..", panggilnya kembali. "Maukah kamu membantu saya?".
"Saya tidak bisa berjanji, tapi akan saya coba", aku bisa melihat senyumnya yang tipis di bibirnya.
"Apa Reksa akan mau menerima saya kembali?, menjadikanku rumah dari segala tualangnya?", tiba-tiba saja, ia menerka apa kiranya yang akan terjadi tentangmu, jauh ke depan, sejauh mata yang memandang melintasi dimensi ruang dan waktu, mata yang penuh harap. "Bagaimana jika momen-momen bersamanya seperti dulu tak bisa saya rasakan kembali?".
"Itu tidak akan terjadi jika kamu mau memberitahukan apa yang tak pernah ia tahu". Tiba-tiba saja Saida yang sedari tadi hanya terdiam mendengarkan menimpali ucapannya.
"Apa yang harus kuberi tahu, Saida?", ia mengalihkan pandangannya ke pada perempuan di sebelahnya. Mereka berdua saling menatap dengan mata yang saling berbicara, tanpa suara.
"Apa yang sebenarnya terjadi malam itu", kini Saida membalasnya dengan raut wajah yang amat serius hingga membuatku bertantya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di balik perkataan Saida itu. Namun, jawaban Ibumu tak memuaskanku, ia hanya mendesah dan mengembalikan pandangannya ke arah semula, dedaunan yang menggantung di sudut ruangan bercat putih tulang senada dengan dressnya waktu itu.
Tak ada jawabann darinya, Saida pun kembali berucap, "Ia berhak tahu, dan itu sudah menjadi tugasmuu untuk memberi tahu".
Aku semakin dibuat penasaran dengan perkataan Saida, tapi aku terlalu takut untuk menanyakan apa yang sebenarnya maksud perkataan Saida.
Tiba-tiba saja, sebulir bening bulat menjatuhi dress cream-nya, menimbulkan bekas bulatan yang terlihat lebih gelap dari sekitarnya. Cepat-cepat ia mengusap matanya ketika menyadari aku baru saja menatapnya. "Ah, maaf", ia menghela napas kembali.
"Mungkin, saya mau pamit dulu, sepertinya kamu sudah ada agenda lain yang harus kamu jalani, ya?. Terima kasih sudah meluangkan waktunya, semoga kamu selalu bahagia", ucapnya sebelum undur diri.
Ia pergi, meninggalkan berbagai tanya tentangmu di kepala ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomanceSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti