Beberapa orang menunggu dengan tawa, mungkin mereka hendak pergi ke suatu tempat indah di ujung kota. Beberapa lagi menunggu dengan sisa-sisa energinya, mungkin mereka tahu bahwa jalan yang akan dilaluinya di ujung kota tidak akan mudah seperti ketika mereka berada di tempat asalnya.
***
Bersama dengan kesadarannya terhadap sulitnya hidup dengan orang asing di tempat yang terasing baginya, sebuah perasaan kecewa tumbuh dari dalam dirinya. Yang kelak kekecewaan itu begitu kuat mengakar dan hampir membutakannya. Ya, kecewa pada seseorang yang beberapa tahun berikutnya tak ingin dipanggilnya sebagai ibu. Dalam dirinya telah tertanam memoar pahit bersama ibunya, bahwa, perempuan yang dahulu amat disayanginya, dihormatinya, dan dibanggakannya itu telah meninggalkannya sendiri di sebuah tempat asing dan mendorongnya pada sebuah jalan hidup yang sama sekali tak pernah dibayangkannya.
Namun, terkadang, sebagai seorang anak kecil yang belum tahu apa kata menyerah, sebuah harap tiba-tiba masuk ke jalan pikirannya, entah dari mana. Harap yang bukan sekedar harap. Harap yang begitu tulus dari dasar keyakinannya, bahwa kelak, ibunya akan datang menjemputnya. Dan apabila itu benar-benar terjadi, ia menyadari bahwa doa-doa yang ia langitkan hanyalah perihal waktu.
Hari itu, kabut masih pekat, tapi si Kecil telah bersiap. Menjajakan barang dagangannya. Di sebuah pemberhentian bus-bus kota, ia jajakan dagangannya. Menghampiri satu demi satu orang-orang yang menunggu kendaraan yang akan membawa mereka ke tempat tujuannya. Beberapa orang menunggu dengan tawa, mungkin mereka hendak pergi ke suatu tempat indah di ujung kota. Beberapa lagi menunggu dengan sisa-sisa energinya, mungkin mereka tahu bahwa jalan yang akan dilaluinya di ujung kota tidak akan mudah seperti ketika mereka berada di tempat asalnya. Mereka terdunduk lesu, dengan pandangan tertuju pada tanah yang menjadi tempat kakinya berpijak.
Si Kecil mengawali tawarannya pada seorang Bapak berkemeja biru tua. Belum sempat ia menawarkannya, Bapak itu langsung mengangkat tangan setinggi dada sambil menggelengkan kepala. Ia mengerti bahwa Bapak itu menolak tawarannya. Atau, sebenarnya Bapak itu terganggu dengan kehadirannya yang membuyarkan lamunan Bapak itu, sebab sedari tadi ketika ia datang ke tempat itu, Bapak itu melihat ke lalu lalang kendaraan di hadapannya dengan tatapan yang kosong. Si Kecil tak mau berasumsi lagi, maka cepat-cepat ia beralih pada dua Bapak yang berada di samping Bapak berbaju biru tadi. Satu berbaju merah, satunya berbaju putih. Meski warna pakaian yang digunakan kedua Bapak itu tak sama dengan Bapak yang melamum tadi, respon kedua Bapak itu tetap sama, mereka menolak.
Tak selang beberapa lama, bus yang mereka tunggu akhirnya datang. Seorang kondektur berteriak pada calon penumpang agar segera naik ke dalam bus. Diketahui bus itu akan menuju Jogja, ya Jogja sebuah tempat yang banyak didamba.
Si Kecil mengitari pandangan, banyak yang sekoyong-koyong mendekati bus berwarna ungu muda tersebut. Termasuk seorang ibu yang menggendong anak yang menurutnya berusia satu setengah tahun dengan jarik berwarna keunguan. Di sampingnya terdapat beberapa tas berbagai ukuran. Ketika hendak mengangkat satu tas lagi di tangan kirinya, seorang lelaki datang dari arah belakang dan menyerobot tas yang hendak dipegang ibu berbaju bunga-bunga tersebut. Ibu itu tersenyum, sepertinya lelaki itu adalah suaminya. Mereka pun berjalan menuju bus yang hendak berangkat ke Jogja.
Tak banyak orang yang tersisa di sana setelah kepergian bus ungu tersebut. Hanya ada dua orang yang masih tinggal di sana. Si Kecil pun mendekatinya.
"Permisi, kak, aku jual air dan jajan, apakah kakak mau membeli?".
"Heyy..jajan apa itu Dek?". Nampaknya, orang tersebut memperlihatkan ketertarikannya sebab ia buru-buru meletakkan ponsel yang sedari tadi dimainkannya. Entah ia tertarik dengan jajanan yang dibawa si Kecil atau ia tertarik dengan Si Kecil itu sendiri, sebab sedari tadi ia diam-diam memperhatikan si Kecil.
"Ini ada kue lapis, kue gulung, baso, ada air juga, kakak suka yang mana?".
"Mmm..adek suka yang mana?", ia malah balik bertanya.
"Aku..mmm kalau aku suka yang ini kak", sambil mengangkat kue bolu berwarna hitam kecoklatan.
"Yasudah, Kakak mau yang itu yaa". Ia kemudian menyerahkan beberapa lembar uang untuk si Kecil.
"Adek mau nemenin Kakak makan, engga?". Si Kecil mencerna ucapan orang yang ada di depannya, ia menimang maksud orang tersebut dari wajahnya. Ia mengingat pesan Ibunya untuk tetap waspada dengan orang asing yang tak dikenalnya.
Melihat tingkah si Kecil yang sedang mengamati dengan kepala yang sedikit miring, orang itu malah dibuatnya tertawa. "Adek kenapa liat Kakak seperti itu?".
"Eh, bukan apa-apa kok Kak".
"Apa ada yang aneh ya dari penampilan Kakak?".
"Tidak kok Kak. Oh ya tadi Kakak tanya apa ya?". Si Kecil buru-buru mengalihkan topik pembicaraan yang juatru membuatnya semakin terjebak pada situasi yang ingin dihindarinya.
"Adek tadi melamun ya?", ucapnya seperti sedang menggoda adiknya sendiri. "Ngelamunin apa sih?, haa?". Melihat respon si Kecil yang kebingungan membuatnya semakin terkikik.
Aneh, pekik Si Kecil dalam hati. Si Kecil malah dibuat merinding dengan tingkah orang di depannya. Ia pun memutuskan cepat-cepat membereskan barangnya. Namun, disela-sela pekerjaannya itu, orang tersebut kembali membuka suara tapi kali ini dengan suara yang jauh lebih tenang dari sebelumnya.
"Dek..Adek enggak sekolah?", tanyanya dengan lembut. Si Kecil hanya menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?", tanyanya lagi.
"Aku mau ke Jogja". Jawab si Kecil sekenanya.
"Waww, pas sekali".
"Kenapa Kak? Kakak mau ke Jogja?. Tapi bukannya busnya tadi sudah berangkat?".
"Engga sih".
"Terus?".
"Jogja, Kota Pelajar, Dek".
Ada sesuatu yang terasa mengalir bersama aliran darahnya, sesuatu yang dahulu amat dibencinya, mungkin itu yang dimaksud sesuatu akan terasa berharga apabila sudah tiada. Ia teringat ruang kelasnya yang bercat putih, yang salah satu kipas anginnya tidak mau bergerak memutar, betapa ia membencinya kala itu, dan mengumpat apabila cuaca terasa begitu panas.
Si Kecil mengerti, "Terima kasih, Kak", ucapnya dalam hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomanceSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti