Pikiran kita beradu di langit. Ia yang menginginkan jawaban jujur itu, sedang aku yang bersikeras menjauh dari pertanyaan itu. Sebab, belum kutemukan sesuatu yang cukup untuk menjawabnya. Sebab, jawaban itu sendiri adalah sesuatu yang amat sensitif bagiku, ya, perasaanku.
***
Tok..Tok..Tok..
Sebuah benda kayu persegi panjang berdetak mengeluarkan suaranya, pertanda seseorang di luar meminta izin untuk dibukakan pintunya.
Aku yang tengah sibuk mempersiapkan perlombaan yang akan kuikuti bulan depan enggan beranjak dari meja belajarku. Selain ikut pertandingan futsal antar sekolah, aku juga diminta untuk mewakili perlombaan bidang informatika. Awalnya, aku menolak. Enggan berjibaku dengan buku-buku yang membuat mataku bosan. Hingga pada akhirnya Arfi memberitahuku di mana tempat penyelengggaraan lomba, aku pun mantap mengiyakan tawaran itu. Artinya, aku punya kesempatan lebih banyak bertemu Hanin di sana. Bahkan aku sudah menyusun rencana bagaimana aku akan bertemu dengannya.
Tok..tok..tok..
Sekali lagi, pintu terketuk. Tak adakah orang di rumah selain aku?. Dengan malas aku pun beranjak dari dudukku beringsut membuka pintu kamar memasuki ruang tengah.
"Iya, sebentar".
Dari kaca jendela aku melihat siluet seseorang yang tak kudapati waktu untuk menerka siapa dia. Dengan cepat ku tarik gagang pintu.
"Ass..sala..mu'akaikum". Dari nadanya yang berangsur menurun hingga hampir tak terdengar itu, nampaknya ia terkejut melihatku membukakan pintu. Namun mengapa ia harus terkejut?, bukankah sedari dulu ia tahu jika di sini memang rumahku?.
"Wa'alaikumussalam..", jawabku. Begitu lama kami terdiam kikuk. Aku yang baru tersadar dengan keadaan itu buru-buru mempersilakannya masuk. Ku buka kunci pintu di bagian atas agar terbuka lebar. Ia mengikuti dari belakang, derap langkahnya tak terdengar. Ada semacam kecanggungan diantara kita.
"Duduk". Kupersilakan ia duduk. Dan lagi, keheningan membatasi kita. Sial, kenapa otakku tidak segera dapat mencari kalimat apa yang harus kukatakan padanya.
Dengan mengitarkan pandangan ia berkata "Mmm..Umi ada?".
"Iya..eh..enggak..hehe". Ia terkekeh pelan melihat tingkahku.
Aku berusaha menetralkan emosiku dengan duduk di kursi berhadapan dengannya.
"Jadi..Umi enggak di rumah?". Meragukankah jawabanku tadi sampai-sampai ia harus mengklarifikasikannya lagi?.
"Iya, lagi pergi sama Liya. Ada perlu apa kalau boleh tahu?".
"Oh..Mmm..ini ada bingkisan buat Umi Salamah dari Umi". Ia menyodorkan bingkisan yang sedari tadi di pangkunya mendekatiku.
Melihat bingkisan itu, memoriku berputar di masa lalu. Uminya Salwa sangat pandai membuat kue. Sedari dulu, Salwa yang ditugaskan untuk mengantar kue-kue itu agar diberikan pada keluargaku. Tak ketinggalan ketika membuat resep baru, mereka selalu ingin kami mencicipinya. Hal itu tak terlihat lagi setelah kepindahan Salwa dari kota ini. Dan hari ini, kejadian beberapa tahun lalu itu terulang kembali.
"Wahh, makasih Salwa". Ia langsung mendongakkan kepala menatapku setelah kupanggil namanya. Ada sesuatu yang nampaknya sedang ia pikirkan hingga keheningan kembali menyekat kita berdua. Aku pun akhirnya mencoba angkat bicara, berharap dapat memecah keheningan ini.
"Aneh yaa". Ucapku lirih sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Apanya?".
"Dulu kita sedekat itu. Mmm..maksudnya aku, kamu, Liya sering bercanda bersama. Tapi, sekarang bahkan kita jarang banget buat kumpul bertiga". Dia hanya diam mendengar perkataanku. Aku baru saja menyadari bahwa ia merasa tak enak dengan pernyataanku tadi. "Kamu..sampai kapan di sini?".
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomansaSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti