11. Menunggu Hujan Reda

6 0 0
                                    

Setiap orang hidup dengan jalan ceritanya masing-masing, ada ujian juga kenikmatan yang datang dan pergi. Silih berganti.

***

Sebuah tamparan melayang dari tangan yang kekar. Ketika koin recehan dihitung sebanyak lima ribu di tangan. Bentakan, makian keluar dari mulut yang berbau asap rokok bak paku yang menancap ke dinding semen. Sore itu, di tengah lebatnya guyuran hujan ibu kota, anak-anak kecil sedang menunggu gilirannya mempertanggungjawabkan barang yang diperjualbelikannya. Mereka yang menyisakan separuh harinya di jalanan, mereka yang bertahan hidup dengan mengecup keras kasarnya aspal jalanan. Seolah jalanan telah menyatu dengan mereka, jalanan telah menjadi teman mereka, dan sekaligus menjadi luka bagi mereka. Bagaimana bisa mereka harus menyatu dengan sumber luka?. Ya, tapi itulah adanya. Namun lihat, bahwa memang ternyata luka adalah teman yang menemani mereka untuk tumbuh. Luka membuat mereka kuat tanpa kehilangan sifat lembut.

"Hey kau tak apa?". Tanya gadis berkuncir belakang itu.

(....)

"Heyy". Sambung anak lelaki berkaos biru muda.

Setelah mereka mendapatkan hasil jerih payahnya selama setengah hari, mereka tak langsung meninggalkan emperan belakang toko milik Bang Zamrud, sapaan pemilik toko yang memberi barang dagangan kepada mereka untuk dijual di jalan-jalan dekat lampu merah sebab hujan tak kunjung reda. Mereka saling memperhatikan satu sama lain, mungkin mengerti perasaan masing-masing bahwa sebenarnya mereka tak ingin seperti itu, mereka ingin hidup layaknya anak-anak lain yang bisa merasakan nikmatnya tidur siang atau sekedar bebas bermain layang-layang di tengah lapang.

Setelah kejadian malam itu, Si Kecil dibawa ke sebuah rumah megah yang ia tak tahu siapa pemiliknya. Terakhir kali diingat, ia dibawa oleh seseorang dari tempat dimana Ibunya berjanji akan kembali. Namun sampai saat ini, entah dimana keberadaan Ibunya. Apakah ia merindukannya, tidakkah ia mengkhawatirkannya, sudahkah ia mencarinya. Mengingat akan hal itu, membuatnya dihantui perasaan takut yang mungkin tercermin dalam raut wajahnya yang terbaca oleh kawan-kawannya.

"Heyy, Reksa". Ucap anak lelaki berkaos biru muda sekali lagi sembari menggoyangkan bahunya.

Tentu saja goncangan di pundaknya mengembalikannya pada kesadaran "Emm, iya kenapa?".

"Kau tak apa, kan?."

"I-iya". Jawabnya sedikit bingung

"Heyy, Reksa. Jika ada yang ingin kau ceritakan, ceritakanlah pada kami. Kami akan mendengarkan, jangan takut Bang Zamrud memang seperti itu orangnya, keras". Kali ini, gadis berkuncir belakang yang membuka suara sambil memalingkan wajah ke samping.

"Apa kalian pernah mengalaminya juga?".

"Ya, pernah". Ucap anak yang cenderung lebih gendut dari yang lainnya dengan penuh semangat. Memang, diantara mereka si gendut inilah yang paling ceria dan bersemangat. "Saat di mana aku aku harus menjual dagangan, aku harus berjuang dengan rasa laparku. Berhubung dagangan bisa dimakan, entah bagaimana tanpa ragu aku memakannya hingga tak tersisa. Saat sadar barang di tanganku tidak ada, aku langsung terkejut sekaligus khawatir bagaimana menjelaskannya nanti ke Bang Zamrud. Ingin rasanya aku tak menemui Bang Zamrud sore itu, tapi rasa bersalahku mengalahkan rasa takutku. Alhasil, aku pasrah saja entah bagaimana Bang Zamrud akan marah atau tidak. Pikirku, aku harus tetap bilang yang sejujurnya."

"Lalu bagaimana?". SI Kecil yang penasaran memotong cerita si Gendut

"Ya, tahu sendiri bagimana Bang Zamrud. Aku langsung dimarahi habis-habisan, dan piring yang digunakan makan saat itu melayang ke arahku dan mengenai kakiku. Untunglah aku baik-baik saja". Dengan penuh emosi si Gendut menjelaskannya sambil tersenyum bangga.

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang