18. Halaman Baru

1 0 0
                                    

"Bayangkan ketika seseorang tidak memiliki tujuan, ia akan kebingungan kemana ia akan melangkah, maju, belok kanan, belok kiri, atau malah mundur"

***

Dari balik jendela, aku bisa melihatmu sedang berbicara dengan saudaraku, setelah kau menuruni dua anak tangga di teras rumahku. Ia adalah Bi Tum, sepupu ayahku. Kau tahu, ada rasa senang ketika aku melihatmu di depan rumahku, juga rasa malu dan takut ketika kau harus melihatku berada dalam suasana yang seperti itu, takut kau akan pergi setelah tahu, takut kau akan menjadi sepertinya.

Seperti apa yang kau lihat, kala itu rumahku sedang berantakan, bukan tak ada yang membersihkan. Hanya saja, barang-barang terlempar oleh amarah seorang lelaki yang tak bisa ditahan. Lelaki yang dahulu mengangkat tubuh kecilku di atas bahunya sambil menggenggam kedua tangan mungilku, berputar-putar mengalunkan lagu anak-anak kesukaanku. Lelaki yang mengantarku ke sekolah untuk pertama kalinya, memasuki ruang kelas untuk mencarikan tempat duduk untukku yang takut dengan orang baru. Lelaki yang mengajakku berkeliling kampung dengan becak tuanya. Ya, lelaki yang kupanggil Ayah.

Kau tahu, aku sangat merindukan momen itu. Momen di mana Ayah masih seperti Ayah yang dulu, yang menggenggam lembut tangan putrinya, yang menyanyikan lagu kesukan putrinya, yang mengajak putrinya berkeliling untuk meredakan tangis putrinya. Ayah yang selalu berusaha membuat putrinya tersenyum bahagia.

Entah sejak kapan Ayah tak lagi sama seperti Ayah yang dulu. Yang ku tahu, Ayah yang sekarang lebih sering menggenggam tangan putrinya dengan kasar, mengalunkan sumpah serapah di depan putrinya, dan melemparkan barang-barang dihadapannya. Tak hanya padaku, tapi pada ibuku. Bahkan, aku pernah mendapati Ayahku melemparkan barang ke arah Ibu, mengenai kaki Ibu. Itu terjadi ketika Ibu masih ada. Ya, entah kau tahu atau tidak, Ibuku meninggalkanku sewaktu aku masih duduk di kelas tiga SD. Aku pun tinggal berdua dengan Ayah. Dan sejak kepergian Ibu, aku jadi takut dengan Ayah yang lebih mudah meledak amarahnya, aku mulai takut menatap mata Ayah. Hingga kini aku baru sadar, jika aku hanya berani menatap mata Ayah diam-diam, dari kejauhan.

Terkadang, aku bertanya, apa yang membuat seseorang berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Tanpa alasan yang kuat, rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Apakah waktu perlahan mengikis sifat lembut Ayah lalu menggantinya dengan yang lebih keras, atau malah waktu yang menampilkan sifat asli Ayah yang memang keras dan mudah meledak amarahnya itu?. Terkadang, aku ingin menanyakannya padamu, tapi teringat perihal Ibumu, aku jadi sungkan. Takut hal itu malah akan semakin membebanimu.

Terkadang aku ingin kembali ke masa kecil agar aku bisa bersama Ayah yang dulu. Terkadang juga aku berpikir, apakah Ayah berubah karena aku semakin besar, kalau begitu, sebab, semakin ke sini Ayah semakin suka mengedepankan amarahnya. Kalau begitu adanya, ingin rasanya aku ingin memiliki masa kecil yang lebih lama, atau ingin menjadi anak kecil selamanya. Namun, hal itu tidak akan terjadi bukan?. Tidak ada yang kekal di dunia ini, masa kecil, kebahagiaan, juga penderitaan. Semua memiliki batas eksistensinya masing-masing.

Saat itu, aku mencoba berbicara dengan Ayah, tentang mimpi dan rencana-rencanaku kedepannya. Aku ingin membangun lagi kedekatan dengan Ayah, seperti saat dulu di suatu pagi ketika aku takut berangkat ke sekolah di hari pertama.

"Anak Ayah kenapa?, kok cemberut mau berangkat ke sekolah?. Coba sini cerita".

"Anin nggak mau sekolah, Ayah. Takut".

"Nggak apa-apa sayang. Anin takut karena Anin belum pernah ngerasain. Nanti kalau sudah di sana, Anin bakal ketemu sama teman-teman baru dan Bu Guru, kalau sudah terbiasa dan kenal lama-lama pasti akan akrab kok. Mereka itu kan yang bakal nemenin Anin buat menjemput mimpi-mimpi Anin. Katanya mau jadi arsitek, kan?".

Dahulu, Ayah yang bilang padaku supaya aku memiliki mimpi. Ketika itu menganggap bahwa aku sudah memilikinya, ya, ketika aku tidur. Tapi ternyata bukan mimpi yang seperti itu kata Ayah. Setelah tertawa mendengar jawabanku tadi, Ayah menjelaskan bahwa mimpi yang dimaksud ialah sebuah cita-cita, katanya agar aku memiliki arah tujuan. "Bayangkan ketika seseorang tidak memiliki tujuan, ia akan kebingungan kemana ia akan melangkah, maju, belok kanan, belok kiri, atau malah mundur", katanya waktu itu.

Setelah itu, aku pun bertanya-tanya pada diriku sendiri. Cita-cita seperti apa yang aku inginkan. Karena aku senang menggambar, membuat desain denah rumah hingga menghabiskan berlembar-lembar halaman, maka aku pun memutuskan untuk menjadi arsitek. "Aku mau jadi arsitek, Ayah", ucapku lantang pada Ayahku waktu itu. Dan, ya, Ayahku langsung mengacungkan kedua jempolnya dan mencubitkannya di hidungku. Aku masih ingat betul momen-momen seperti itu dengan Ayahku.

Berbeda sekali dengan Ayah yang saat itu kau temui. Saat itu, aku telah selesai membereskan rumah, melihat Ayah yang sedang duduk santai mengepulkan asap rokoknya dengan televisi yang menyala di hadapannya, aku kira itu momen yang tepat untuk berbicara dengan Ayah.

"Ayah", sapaku hati-hati.

"Apa?", jawabnya ketus.

"Sekolah Anin kan lagi ada event kerja sama sama studio galeri di kota, nah di sana ada semacam pengenalan dan pelatihan desain interior gitu Ayah. Acaranya, kurang lebih semingguan, dan karena desain Anin kemarin masuk ke dalam karya yang dipamerkan di sana, jadi Anin mau..", belum selesai aku berbicara, Ayah langsung angkat suara.

"Nggak ada ya, ikut begituan", suara tinggi Ayah seakan menjatuhkan impianku dan memcahkannya menjadi kepingan-kepingan kecil.

"Tapi, Ayah..", ketika aku hendak memberikan penjelasan yang lebih rasional, Ayah malah melemparkan remote TV yang ada disampingnya. Aku yang duduk di kursi samping Ayah pun langsung kaget dibuatnya. Remote itu sampai keluar dua buah baterainya dari tempat asalnya, lalu menggelinding ke kolong meja tamu, sementara tutupnya entah terpental ke arah mana.

Ayah lalu berjalan melewatiku, berdiri di sampingku agak ke depan. Sambil jari telunjuknya menunjuk ke arahku ayah berucap "Kalau Ayah bilang enggak, ya enggak". Ayah kemudian langsung melanjutkan kalimatnya setelah melihatku yang hendak menyanggah ucapannya. "Apa itu acara seminggu, nggak penting. Lebih baik kamu di rumah, nih beresin rumah, masak, kerjakan apa yang biasa kamu kerjakan. Nggak usah aneh-aneh".

"Apa salahnya Anin ikut acara itu, Ayah. Lagian selama ini Anin sudah melakukan semua tugas yang Ayah katakan. An..".

Duarrr

Sebuah figura yang berisi lukisan bunga lily di meja dibanting oleh ayah hingga kacanya pecah berceceran di lantai. Tak hanya itu, Ayah juga menggebrak meja dengan kencangnya setelah menyelesaikan kalimatnya itu. "Lah itu tau salah kamu di mana. Kalau kamu pergi seminggu, siapa yang melakukan tugasmu itu, Bi Tum?". Suara Ayah semakin meninggi. "Mikir", telunjuk Ayah pun menoyor kepalaku hingga sedikit terhuyung ke samping.

Ketika Ayah melihat ada seseorang di depan rumah, Ayah lantas masuk ke dalam dan meninggalkanku sendiri dengan air mata yang sekuat mungkin kutahan agar tak terjatuh.

***

Namaku Hanin

Izinkan aku menyelesaikan lembaran ini sampai akhir

Kamis, 15 Nov'18

-Hn

***

Hmmm, ada yang baru nih

Kira-kira apa?

Sudah pada tahu kan? hehe

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang