1. Aku dan Pikiran Semuku

52 6 0
                                    

"Kecewa dan kebencian yang dibiarkan berlarut-larut singgah dalam hati bisa jadi akan menimbulkan rasa dendam yang akan mengecewakan hidupmu sendiri."

🍁🍁🍁

Cukup sudah pikiran ini berkelana semalaman. Pagi ini fisik mengharuskan berjuang dalam fase kehidupan. Sisa-sisa pemikiran tadi malam, membuatku enggan beranjak dari tempat tidur. Tapi rasa ini lagi-lagi mengalahkan segalanya. Membayangkan tawanya, candanya membuatku ingin tertawa, walau jiwa rasanya menolak untuk itu.

Kucukupkan istirahatku. Kubusungkan dadaku. Kuliukkan badanku. Hingga suara tulang-tulang seakan-akan menertawakanku. Tapi ku tak peduli. Lagi-lagi aku memikirkan sesuatu yang tak semestinya ada dalam benakku. Entahlah, akupun tak tahu kapan hal itu akan berlalu. Setelah kutemui putri bermahkota dalam imajinasiku, atau..... Ah, kutak mau memikirkan itu. Terlalu sakit, untuk kuingat. Mengingatnya bagai menabur garam pada luka yang belum kering. Tapi yang kutahu aku masih mengharapkannya. Berharap semua itu nyata. Suatu hari nanti.

Cepat-cepat aku keluar kamar. Sebelum Abah pulang, aku harus sudah siap. Siap pikiran untuk menjawab pertanyaan tak karuan Abah. Siap melapangkan hati mendengar ceramah Abah. Dan tentunya harus siap menerima aturan-aturan yang aku sendiri sebenarnya tak mau melakukannya. Tapi, untuk menolaknya pun aku tak kuasa. Hingga terkadang aku melakukannya dengan keterpaksaan. Walau aku tahu, sesuatu yang dilakukan dengan terpaksa, hasilnya mungkin juga akan terpaksa.

Dan benar saja, baru menutup pintu kamar, Abah sudah datang. Aku tak bisa mengelak. Karena sedetik kemudian, Abah tentu sudah memergokiku.

"Baru bangun?" Tanya Abah.

"Masih jam lima Abah, lagi pula waktunya juga masih ada kok Bah".
Ya. Jam lima bagi orang berandal sepertiku memang masih pagi. Tapi bagi seorang Abah yang kredibilitasnya tinggi, sungguh pagi seperti sudah berlalu sejak tadi.

"Waktu memang masih ada, tapi waktu tetaplah waktu, yang cepat berlalu bahkan tanpa kau sadari. Jika hal itu terjadi dan kau lalai terhadap kewajibanmu, apa kau tidak menyesal kemudian?. Sedang kamu tahu jika waktu tidak akan bisa diputar kembali".

Dengan sorot mata yang dalam Abah menatapku.

"Kau melupakan janjimu" ucap Abah.

"Abah selalu membicarakan itu. Aku masih belajar Bah, untuk bisa menerima keadaan. Bukan aku menyalahkannya, tapi suatu hal yang wajar apabila aku kecewa terhadapnya".

"Maaf" kata yang tak sempat kuucap setelah sesaat aku langsung meninggalkan Abah. Aku hanya tak ingin membicarakan hal itu lebih dalam. Apalah arti semua ini. Aku yang masih belajar, tapi dituntut ini itu. Aku pun sebenarnya tak ingin seperti ini. Tapi kutegaskan sekali lagi, aku masih belajar.

"Kecewa itu wajar, tapi memendam kebencian karena rasa kecewa apakah hal yang wajar setelah bertahun-tahun berlalu?". Pertanyaan itu kudengar sesaat setelah aku meninggalkan Abah. Namun aku tak bisa menjawabnya. Memilih tuk melanjutkan langkah ku ke kamar mandi.

Dalam perbincanganku dengan Abah, aku tak pernah menang sekalipun. Setiap pertanyaan yang tak bisa kuelak, menjadi pertanyaan pamungkas sekaligus sebagai pertanda atas kekalahanku.

Langkah kaki terhenti tatkala kedengar suara lembut menyapaku.

"Reksa"

Itu adalah suara wanita terhebat yang biasa kupanggil Umi. Wanita yang tangannya selalu membelai lembut rambut hitamku saat aku dilanda kecemasan. Yang dekapannya selalu kurindu saat tak tahu kemana ku harus kembali. Yang kehadirannya selalu membuatku ingin melebur saja sekalian bersamanya. Sungguh aku ingin tetap tinggal bersamanya. Dan yang paling ingin kuberi tahu ialah ia yang selalu berada di garda terdepan saat seseorang hendak membabi buta hidupku. Tapi aku tak ingin membicarakan itu. Yang ingin kubicarakan adalah tentang betapa beruntungnya aku bertemu malaikat tanpa sayap sepertinya. Yang perkataanya selalu menenangkan jiwa yang sedang terseok-seok oleh adanya kamuflase kehidupan yang kualami.

Kutatap dalam matanya dengan penuh hormat lagi penuh cinta.

"Iya Mi"

"Duduklah nak" Umi menunjuk ke arah kursi di dapur dan menyeretnya sedikit agar aku bisa duduk.

Ia pun mendudukkan tubuhnya yang tak sekuat dulu karena telah dimakan usia, sesaat setelah aku mendudukkan tubuhku. Dengan penuh kaih sayang ia menatapku, memegang lenganku, mengusapnya dengan halus dan memebelai lembut rambutku. Telah kukatakan ia adalah wanita yang selalu membelai rambut hitamku saat aku sedang dilanda kecemasan, kegundahan bahkan rasa takut akan piciknya hidup ini. Dan sampai detik ini, lihatlah ia masih melakukannya.

"Reksa. Reksa minta maaf ya sama Abah. Maksud Abah baik nak, Abah hanya ingin..."

"Ingin melihak Reksa seperti dulu, Mi?".

"Bukan nak, bukan seperti itu, Abah hanya ingin memperbaiki hubungan kalian. Abah ingin melihat kamu hidup dalam kedamaian, ketenangan dan penuh kebahagiaan tanpa adanya dendam dalam hatimu, nak"

"Reksa tidak pernah menyimpan dendam Mi".

"Kalau bukan dendam, lalu apa?. Reksa dengarkan Umi, memelihara dendam dalam hati hanya akan menjadikan hidup ini penuh dengan apa yang kita dendamkan itu sendiri".

"Reksa hanya kecewa, Umi".

"Kecewa dan kebencian yang dibiarkan berlarut-larut singgah dalam hati bisa jadi akan menimbulkan rasa dendam yang akan mengecewakan hidupmu sendiri. Maka itu, Umi mohon padamu Reksa, jaga hatimu nak, dari segala sesuatu yang bisa mengotori hatimu. Karena hati adalah tempat cinta berlabuh. Dan jika kamu mengakui bahwa kamu mencintai-Nya, lantas, pantaskah kamu mepersembahkan hatimu yang kotor itu pada-Nya?. Belajarlah anakku, dan mintalah pada-Nya agar Dia Yang Maha Benar bersedia menunjukkan jalan yang benar dari kesalahanmu".

Ku lihat setiap gerak bibir Umi, mengamati setiap kata demi kata yang keluar dari bibirnya. Mencoba meresapi apa yang dikatakan Umi dengan hati dan pikiran yang terus berkelana mengingat apa yang pernah terjadi.

"Berdamailah dengan dirimu sendiri dan minta maaflah kepada Abah".

"Iya Mi, tapi Reksa mandi dulu. Reksa juga belum menunaikan kewajiban Reksa pagi ini Mi".

Umi menganggukkan kepala, tanda bahwa Umi setuju. Aku yang sebenarnya masih mencoba untuk mendalami perkataan Umi, akhirnya berdalih memilih mandi. Sebab aku masih berpikir keras tentang semua ini. Dan bayangan itu selalu menggelayuti pikiranku.

🍁🍁🍁

Teruntuk dikau..
Terima kasih telah membaca ceritaku.
Kuharap kau menyukai alur yang berlaku.
Jika tidak begitu..
Paling tidak, kau bisa mengambil sedikit kebaikan dari apa yang kutulis untukmu.

Semoga esokmu kan menyenangkan.

Kamis, 23 Juli 2020
senjauni

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang