17. Sebuah Jawab

3 0 0
                                    

Namun, terkadang hal yang telah diletakkan untuk tak diharapkan lagi keberadaannya, malah datang dari sudut yang tak pernah diduga sebelumnya. Seolah, ada yang tak ingin harap pergi dari genggamanku.

***

"Hey".

Suara beratku mengejutkan seorang perempuan yang tengah membolak-balikkan buku yang berada di genggamannya. Sedari tadi, perempuan itu asyik sendiri dengan berbagai buku yang dijejerkan di rak yang nampak identitas dari buku itu, seolah memasuki dunia baru, ia sampai tak sadar bila sedari tadi seorang lelaki memperhatikannya dengan lekat. Yang ia lakukan ialah membaca judul di halaman depan, membalikkannya hingga tampak sampul belakang, membacanya, lalu seperti mengingat-ingat sesuatu, dan akhirnya meletakkan kembali ke rak buku di depannya. Begitupun seterusnya hingga membuatku yang sedari memperhatikannya pun gemas dengan tingkahnya.

Merasa ada seseorang yang memanggil pun membuat sontak mendongakkan kepala yang sedari tadi tak memperhatikan apa yang ada di depannya selain buku-buku itu. Ia pun tersadar, ada sesosok yang kini berdiri di balik rak buku di depannya. 

Awalnya, aku pun tak menyangka bahwa hari itu akau akan bertemu Hanin di toko buku itu lagi. Ketika aku melihatnya, aku  segera menepis prasangka itu sepersekian detik sebab aku tak mau berharap pada hal-hal yang belum tentu akan terjadi. Lagi pula, sosok itu sudah lama tak menempati sorot mataku. 

Namun, terkadang hal yang telah diletakkan untuk tak diharapkan lagi keberadaannya, malah datang dari sudut yang tak pernah diduga sebelumnya. Seolah, ada yang tak ingin harap pergi dari genggamanku. Begitu pula yang terjadi padaku pagi itu, harap yang sudah lama aku  tanggalkan, kini hadir di hadapanku, begitu jelas, begitu nyata.

"Hey". Panggilnya sekali lagi karena perempuan di depannya hanya diam sambil memegang buku berwarna biru bertulis Juang.

 "Kenapa?". Perempuan itu tetap mematung dengan gaya yang sama.

"Ju-ang". Ia mengeja buku yang dipegang perempuan di hadapannya itu. "Aku rasa itu buku yang bagus".

"Bagaimana kamu menyimpulkan buku ini bagus sementara kamu belum membaca seluruh isinya?. Mengapa kamu menyimpulkan seluruh isi dari buku  ini hanya dari sampulnya?, bahkan sebelum kamu pernah menyentuhnya?". Perempuan itu tiba-tiba saja menyerocos seperti tak terima.

"Dari mana kamu menyimpulkan jika aku belum pernah membacanya, Hanin?". Hanin langsung terkatup mendengar jawabannya. "Lagi pula, tidak ada karya yang tidak bagus. Semua karya akan menjadi bagus untuk mata, telinga, dan hati yang tepat".

"Kenapa?".

"Karena sebuah karya seperti puzzle yang hilang dari diri seseorang, kehadirannya akan membantunya membaca apa yang selama ini tak bisa ia baca".

Hanin tersenyum, walau sedikit. "Bukan itu".

"Lalu?".

***

Suasana enam bulan lalu masih terasa sama, tata letak ruangan, bunga-bunga bermekaran, hanya saja rumput di taman lebih tinggi dari terakhir mereka di sana. Di kedai kopi itu, untuk pertama kalinya aku dan Hanin duduk bersama, membicarakan apa-apa yeng belum diketahui dari salah satunya. 

"Aku tidak bisa".

"Kenapa?". Tanyaku berusaha mencari kebenaran di mata Hanin.

"Aku tidak ingin".

"Kenapa?".

"Bisa, untuk berhenti bertanya kenapa?".

Sepersekian detik sebelum aku berhasil mengeluarkan pertanyaanku, padahal konsonan itu sudah tiba di kerongkongan, Hanin terlebih dahulu menginterupsinya "Mau tanya kenapa?".

"Hanin", panggilku dengan lembut 

"Ada sesuatu dari dirimu yang lalu yang belum selesai?". 

Mendengar pertanyaan semacam itu, Hanin langsung menatapku. Ah, tatapan itu, lagi-lagi membuatku melintasi ruang dimensi yang membuatku memiliki dunia baru.

"Dari mana kamu menyimpulkan hal semacam itu?".

"Aku memberi pertanyaan, bukan pernyataan".

"Tidak"

"Tidak, apa?".

"Tidak ada yang belum selesai, semuanya sudah usai".

"Meski kamu tak menginginkannya usai?. Hanin, aku tidak mengerti apa yang membuatmu mempersempit jalanku untuk mendekat padamu, tapi, jika itu karena sesorang yang menciptakan rasa takutmu padaku, percayalah aku tidak akan menyerupainya".

"Siapa yang kamu maksud?".

"Ayahmu". Jawabnya tegas.

Aku lalu bercerita pada hari di mana ia ke rumah Hanin. 

Sore itu, sebelum pertandingan futsal di sekolah Hanin. Aku diberitahu oleh Dikta untuk tidak ke rumah Hanin sore itu, sebab menurutnya itu kurang efisien bila Reksa ingin berbicara dengan Hanin. Namun, aku bersikeras untuk ke rumah Hanin kala itu, meskipun Dikta bilang bahwa jika aku tetap pergi, Dikta tak bisa mengantarkanku. Jadilah aku pergi sendiri ke rumah Hanin. Baru sampai di teras rumah, aku mendengar suara lelaki berteriak dengan suara sumpah serapah. Tak lama setelah itu, suara benda yang sengaja digebrak oleh pemiliknya terdegar sampai ke luar. Aku sungkan untuk mengetuk pintu, aku hanya mematung di depan pintu sembari meruntut apa yang sedang terjadi di dalam sana. Seorang Ibu muncul dari arah belakang, nampak memperhatikan diriku yang mematung di depan pintu rumah yang tertutup. Aku bisa melihat kedatangan Ibu tersebut dari kaca jendela yang memantulkan bayangan sosok Ibu berdaster merah kecoklatan. Aku pun segera membalikkan badan yang disambut oleh pertanyaan Si Ibu. "Lagi nyari siapa, Nak?".

Aku lalu menghampiri Ibu tersebut dan meraih tangan Si Ibu untuk bersalaman. "Saya tadinya mau ketemu Hanin, Bu. Maaf Bu, Ibu ..ini Ibu Hanin?". Tanyanya dengan hati-hati.

"Oh bukan, tapi saya masih kerabatnya. Apa sudah bilang ke Hanin kalau Nak..."

"Reksa, Ibu".

"Oh, ya, Nak Reksa mau datang?".

"Belum Ibu"

"Kalau begitu, jika sekiranya itu penting, mungkin Nak Reksa bisa datang lagi nanti. Rumahnya di mana, jauh tidak dari sini?. Atau kalau jauh bisa datang besok lagi. Karena sekarang ini, ya Nak Reksa tahu sendiri kan gimana".

Dari situ aku baru mengerti mengapa Dikta tak ingin aku ke rumah Hanin sore itu. Aku pun pulang setelah berpamitan dengan si Ibu, bukan, aku tak pulang, melainkan kembali ke rumah Dikta. Meskipun aku tak jadi bertemu Hanin, setidaknya aku mengerti dan mungkin mendapati jawaban yang selama ini aku cari, tentan sorot matanya yang sayu itu.

"Jangan pernah menjanjikan apapun, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi mendatang".

"Aku tak berjanji, itu sebuah usaha".

"Usaha tidak diucapkan, tapi dilakukan".

"Aku akan melakukannya".

"Tapi, apa yang sudah kamu lakukan tidak mencerminkan hal itu".

Aku tak mengerti, mengapa ia berkata seperti itu. "Kamu tidak memercayaiku?".

"Apa yang membuatku harus percaya padamu?".

"Hanin, jangan menyamakan semua lelaki seperti Ayahmu". Salah satu hal yang pernah aku sesali adalah mengatakan kalimat itu pada Hanin. Entah, ia terlihat marah, kecewa atau terluka. Lalu, diam-diam aku bertanya pada diriku sendiri, apa benar aku akan menjadi sepertinya?.

***

Maaf, jika perkataanku melukaimu

Sungguh aku tak pernah berniat melakukan itu

Aku hanya tak ingin menjadi sepertinya

Aku takut untuk menjadi sepertinya

Sabtu, 7 April 2018

-Rk

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang