10. Kopi di Hari Sabtu

15 0 0
                                    

"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?". Tanya Hanin penasaran.

"Ledakan apa sebenarnya?".

"Lalu si kecil?".

"Ibunya?, dimana ia berada?". Rupanya ia begitu penasarannya sampai ia memberondong empat pertanyaaan sekaligus tanpa memberiku celah sedikitpun untuk menjawab pertanyaannya.

"Minumlah kopimu terlebih dahulu, Hanin. Sedari tadi kau diamkan kopimu hingga es di dalam gelas mencair. Biarlah kopi sekarang yang bergantian menjadikan suasana di benakmu mencair terlebih dahulu". Sambil memandangi kopi milik Hanin aku mengatakan hal itu. Ia lalu menyeruput kopi cappucino yang dicampur dengan es yang ada di depannya.

Ya, setelah menemaninya ke sebuah toko buku, aku mengajaknya ke kedai kopi yang tak jauh dari sana. Dan ia mengiyakan ajakanku. Sebuah kedai kopi yang lumayan ramai di hari Sabtu. Kulihat para penikmat kopi di sore hari itu, ada yang duduk di pojok ruangan seorang diri dengan sebuah laptop di meja depannya, sesekali ia menyerutup kopi lalu  mencocol snack ke dalam saos orange yang segar. Ada juga yang duduk beramai-ramai sembari bergurau ria, lalu terdengar suara terbahak-bahak dari segerombolan manusia di meja nomor lima. Ada yang datang sendiri, tapi tak berselang lama ia juga didatangi satu kawannya kemudian saling berjabat tangan dan saling melempar senyum. Berbeda denganku dan Hanin yang datang bersama lalu duduk di bangku yang sama.

Begitu ia menyerutup kopinya, ia letakkan di tempatnya semula. Aku memandangi kopi itu seperti sebuah mesin waktu. Yang membuatku menjelajah melintasi dimensi ruang dan waktu, seolah melihat si kecil yang tengah ditinggal oleh ibunya seorang diri di sebuah jalan yang lengang. Sepi, layaknya dirinya kini yang hanya ditemani dirinya sendiri. Namun, rupanya kesepian itu dikalahkan oleh rasa takut terhadap suara ledakan yang berhasil membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

Ia mengerang, menjerit dengan sekali jeritan yang panjang selepas membuka pintu mobil milik Ibunya. Ia tak melihat apapun dan siapapun di dalam mobil. Sebab ia memejamkan mata sepersekian detik setelah ledakan itu terjadi. Ia tak berkutik disana tak berani menggerakkan tubuhnya bahkan jika ada sebuah nyamuk sekalipun yang hinggap di dahinya menelurkan rasa tusuk seperti oleh jarum yang sangat kecil. Ia baru memberanikan diri untuk membuka mata setelah keadaan dirasa telah membaik. Namun, saat hendak menjauhkan dua kelopak matanya yang sedari tadi berdempetan, seseorang merangkul tubuhnya dari belakang, menikam wajahnya. Samar-samar ia melihat sosok ibunya yang entah datang dari mana. Atau mungkin sebetulnya ibunya berada dalam mobil?. Jika benar, lantas mengapa ia tak membukakan pintu atau sebatas membuka kaca jendela saat si kecil mengetuk pintu?. Dengan jelas ia mendengar percakapan antara ibunya dengan lelaki yang merangkulnya itu.

"Lepaskan, dia anakku". Perintahnya itu diikuti gerak cepat menangkap tubuh si kecil. Si ibu lalu menggandengngya menjauh dari mobil. Mereka berjalan terus ke barat. Dan baru diketahuinya, bahwa ledakan itu berasal dari arah gubuk reyot tempatnya tertidur tadi. Syukurlah ia berhasil menjauh sebelum ledakan terjadi. Jika tidak, mungkin kini ia menjadi bahan bakar api yang tengah mengamuk itu. Dan beberapa waktu lagi, ia akan menjadi arang gosong dengan bau daging panggang. Ia merinding sendiri membayangkannya, sampai bulu kuduknya berdiri tanpa diminta. Cepat-cepat ia membuang isi kepalanya itu. Kini ia merasa sedikit aman berjalan ke arah barat bersama ibunya. Berbelok ke utara melewati jalan yang banyak gubuk-gubuk yang mungkin sudah tak ditempati. Ia mengamati ibunya yang menengok kanan kiri, ke belakang, lalu ke depan sebelum memutuskan untuk mengambil jalan ke utara.

Kini, mereka berhenti setelah 200 m berjalan.   "Ibu, mengapa kita berhenti di sini?". Tanya si kecil yang mulai dihinggapi rasa takut kembali.

"Kau, tunggulah di sini". Ucap si ibu memerintah.

"Tapi, aku takut, Bu. Ibu mau kemana?, biar aku ikut Ibu saja".

"Tidak, Nak. Kau aman di sini. Ibu pergi sebentar. Ibu akan kembali, tapi kau harus tetap di sini. Jangan ke mana-mana sampai Ibu kembali, mengerti?".

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang