Aku mengenang masa-masa itu. Masa kelam dalam hidupku, yang setelah kupahami sekarang, ternyata itulah yang menguatkanku. Mungkin memang benar, bahwa kita tidak akan bisa melihat bagaimana suatu sistem berjalan jika kita tidak mengobservasinya dari luar. Namun ketika aku sudah berhasil keluar dari sistem yang menurutku menjerat urat leherku itu, entah mengapa ada sesuatu yang aku rasa hilang dariku. Mungkin, mereka telah menjadi bagian dari hidupku. Guruh, Laksmi, Ambar, dan Si Gendut. Aku baru saja tersadar, bahwa aku hampir tak pernah memanggil nama Si Gendut. Teman-temanku yang lain memanggilnya Rosi, seperti nama pembalap menurutku. Aku tahu nama itu saat dulu mereka mengajakku untuk melihat rumah lama Si Gendut di salah satu perumahan Ibu Kota setelah hujan reda sore itu. Saat itu, kami berlima berdiri di depan pagar kokoh bercat putih. Kami memandangi pagar itu yang tinggi, lalu beralih pada rumah yang ada di balik pagar itu. Tiba-tiba saja seseorang memanggil.
"Rosi..".
Yang ku tahu kami berlima tak ada yang bernama Rosi. Namun tiba-tiba saja Si Gendut menyambut panggilan itu. Melihat aku kebingungan, Si Gendutpun menjelaskan.
"Iya, dia dahulu adalah temanku. Kami dahulu mengidolakan para pembalap motor yang kami lihat di televisi. Karena aku sangat mengidolakan Rosi, jadilah ia memanggilku Rosi".
"Ooo..pantas saja seperti nama pembalap, ya", ujarku padanya.
"Bukan seperti lagi tapi memang nama pembalap hahaha".
Kami semua tertawa. Dan rasanya begitu dekat. Seolah mereka ada di depan mataku. Gelak tawa Si Gendut. Suara kaki Guruh yang dihentak-hentakkan saat berlari, dan teriakan Ambar juga Laksmi amat terasa nyata di kepalaku. Tapi, aku tak bisa melihat mereka. Gelap. Hanya ada suara mereka. Semakin kudengar semakin nyata suara itu. Aku tidak mengerti apa yang terjadi denganku. Aku ingin kembali bersama mereka, tapi sebagian diriku menolak. Sudah cukup lukaku tumbuh di sana bersama mereka. Bukan, bukan mereka penyebabnya. Tapi, entah. Semakin aku mengenang itu semakin kuat suaranya. Hingga tiba-tiba bahuku terguncang oleh sosok yang memanggil namaku.
"Reksa..Reksa..".
Aku mengenali suara itu. Ya, Suara Mas Hirsaf.
Aku membuka mataku hati-hati. Entah di mana aku berada. Langit-langit yang kulihat bukan di kamarku. Tidak pula di berbagai sudut rumahku. Artinya, aku sedang tidak di rumah.
"Sa..", panggil Mas Hirsaf.
Aku yang hendak mengalihkan pandanganku padanya merasa sangat pening, pandanganku memburam. Aku mencengkeram tangan Mas Hirsaf yang sedari tadi memegangi tanganku.
Mas Hirsaf kembali berucap, "Tidak perlu memaksakan diri, Sa".
Aku memejamkan mataku sejenak. Setelah kurasa lebih baik, kubuka kedua kelopak mataku yang pandangannya terbuka tepat ke arah jendela di dekat pintu.
Aku melihatnya memandangiku begitu lekat. Seperti ada yang ingin ia sampaikan. Kaca jendela membatasi pandanganku dengannya. Tapi rasa itu tak akan pernah ada yang membatasinya. Selalu tersampaikan melalui mata itu. Saat itu juga kutahu, aku dan dirinya terjebak dalam sebuah rasa tanpa kata. Hanya mata yang sanggup bicara. Sebab, kata orang-orang, mata adalah bagian dari diri manusia yang tak bisa dusta.
Ia berdiri di balik dinding berwarna kuning. Yang setelah kusadari, bahwa ini adalah gedung sekolah. Aku tak lagi menghiraukan di mana aku berada saat itu. Aku terlampau masuk begitu dalam ke matanya yang sayu. Tatapannya mengarah padaku, tapi aku tak bisa mengartikan hal itu. Masih kuingat jelas bagaimana raut wajahnya kala itu. Alis tebal, mata sayu, bibir datar, dan oh ya bulu matanya terlihat begitu lentik.
"Saa", mataku masih saja tak beranjak darinya meski kutahu Mas Hirsaf memanggilku.
Aku menerka bahwa Mas Hirsaf mencoba mencari tahu ke mana arah mataku tertuju. Seperti ada gerakan halus dari tubuhnya yang tak kulihat sepenuhnya. Tak selang berapa lama, seseorang mengetuk pintu dan menyodorkan sebotol minuman pada Mas Hirsaf.
"Terima kasih, Salwa", ucap Mas Hirsaf yang membuat pemilik mata itu berangsur mengalihkan pandangannya ke bawah, memutar badannya ke sisi kanan, dan melangkahkan kakinya ke depan.
"Jangan pergi", ucapku padanya dalam hati.
Mungkin, itu adalah kisah terpendekku dengannya. Sebab setelah aku berusaha mengeluarkan sebuah permintaan padanya yang tak sanggup melewati kedua bibirku, aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Gelap. Semuanya menjadi gelap kembali.
Tapi, siapa sangka bahwa itu adalah kisah yang paling berarti.
***
Kau tahu apa yang paling menyakitkan?
Ketika hendak menyuarakan isi hati, tapi entah, mulut terkatup setengah mati
Rabu, 20 Des'17Rk
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomanceSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti