20. Di Persimpangan Jalan Pulang

3 0 0
                                    

"Yang tidak terlihat oleh mata bukan berarti tidak ada"

***

Hujan, jatuhmu menumbuhkan. Ajari aku untuk menjadi sepertimu. Mencumbu tanah, memunculkan petrichor yang baunya menenangkan jiwa-jiwa yang sedang resah. Biar, tulang-tulang yang patah menjelma penanda arah, biar diri yang rebah jadi pijakan untuk terus melangkah.

Bulan, apakah pernah terbesit olehmu mengapa kau harus selalu membersamai bumi?. Apa kau punya bentuk fase ternyaman?, mungkin sabit, setengah lingkaran, atau, purnama sekalipun?, lalu mengapa kau nyaman dengan bentuk fasemu yang seperti itu?. Bulan, rasanya aku mengagumimu.

Sekelumit pertanyaan muncul bersamaan dengan jatuhnya air hujan. Di suatu malam ketika aku menunggu Hanin, di sebuah taman. Ketika itu, bulan tak lagi menampakkan bentuk fasenya. Terselimut awan yang mungkin jika siang akan terlihat hitam. Kita berjanji untuk bertemu malam itu.

Pukul 19.00, aku menunggunya dengan perasaan penuh.

Pukul 19.10, aku mulai resah, mengapa ia tak kunjung datang.

Pukul 19.20, aku mulai berpikir, apakah ia lupa, atau, tak jadi datang karena hujan?. Entahlah, yang aku tahu ada sesautu dalam diriku yang mencegahku untuk pergi.

Lima menit kemudian, akhirnya aku mendengar suara itu.

"Hey", sapanya. "Maaf, ya, nunggu lama pasti ya".

Aku tersenyum, "Tak apa, sepertinya aku memang tidak cocok menjadi cenayang". Ah, ia tertawa mendengarnya.

"Tadi, ada urusan dulu sebentar, memang agak mendadak sih, jadi telat, sekali lagi maaf".

Aku mengangguk, "Udah selesai urusannya?".

"Udah, tapi, masih ada kelanjutannya. Nanti".

"Berarti belum sesesai dong, itu. Kenapa nggak diselesaikan langsung tadi?".

"Karena orangnya nggak ikut tadi, mungkin baru bisa nanti".

"Oh. Aku pikir, kamu lupa, atau malah nggak jadi datang karena hujan".

"Justru aku senang kalau hujan".

"Kenapa?".

"Mungkin, kamu akan membatalkan rencana ini". Ia tertawa seperti penuh kemenangan. "Lagian, kamu sepertinya lebih senang menghabiskan waktu dengannya yang lebih... segalanya".

"Maksudnya?".

"Aku ini siapa?. Tetangga temanmu yang tak sengaja kau temui sebelum acara tujuhbelasan, kan?".

"Lebih dari itu, hanin". Aku mengerti ke arah mana ia mulai berbicara.

"Namanya, Salwa, temanku sewaktu kecil. Abah, memintaku untuk belajar bersamanya juga Arfi seperti kami kecil dulu, katanya agar aku bisa termotivasi untuk melanjutkan studi".

"Oh", jawabnya singkat.

"Gitu doang?", tanyaku keheranan.

"Ya, apa lagi. Kalau soal itu, aku setuju sih. Lagian kenapa kamu nggak mau lanjut studi?. Mau ngapain emang setelah ini?. Kalau aku jadi kamu, aku pasti senang jika mimpiku didukung penuh oleh keluargaku, Ayah, Ibu, ya, semuanya". Ia menghela napas, tapi tak jadi melanjutkan ceritanya.

"Terus?", tanyaku antusias.

"Ini kan lagi bahas kamu, kenapa aku yang malah jadi cerita".

"Aku senang mendengar ceritamu". Pandangan kami bertemu, dan, ya, aku selalu menyukai mata itu. "Ayo, cerita lagi".

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang