7. Jalan yang Menenangkan

12 0 0
                                    

"Tertawa, bahagia bersama. Itu semua adalah skenarioku. Sementara skenario semesta, jauh berbeda."

🍁🍁🍁

Ternyata, kisah-kisah manis hanya akan terjadi di dunia perfilman semata. Atau kisah-kisah roman yang ditulis sastrawan belaka. Atau malah ternyata aku yang tak seberuntung tokoh yang dibuat mereka. Kemarin, aku berharap bertemu dengan Hanin di sebuah toko buku yang aku sendiri tidak tahu ia akan ke toko buku yang mana. Mungkin terdengar memaksa, dari sekian banyak toko buku di kota ini, aku memusatkan pada satu toko buku yang kemungkinan didatangi olehnya. Lalu kususul ia dan bertemu di sana. Konyol memang, tapi apa yang bisa membuat seseorang menghindar dari kekonyolaan yang lahir dari sebuah perasaan yang penuh tanda tanya dengan titik sebuah bunga cantik yang sedang merekah?. Bila ia bertanya mengapa aku datang, maka aku pun akan menjawab "Aku mengantar saudaraku, Liya", sembari memandangi kedua matanya. Aku menemaninya memilih buku sambil bercerita tentang banyak hal. Tertawa, bahagia bersama. Itu semua adalah skenarioku. Sementara skenario semesta, jauh berbeda.

Hari itu, saat aku menunggu Liya yang tengah bersiap-siap menemaniku ke toko buku, sebuah mobil hitam sedang berusaha parkir di halaman rumahku. Dari balik kaca jendela, kulihat seorang wanita mengenakan blezer berwarna krem dengan celana senada turun dari mobil bersama seorang lelaki yang tingginya hampir 170 sentimeter. Mereka berjalan kearahku, menaiki empat anak tangga yang ada di teras rumah secara perlahan dengan tetap bergandengan tangan. Saat mereka telah sampai tepat di depan pintu, pandangan kami bertemu, dua lawan satu. Sungguh saat itu aku ingin segera pergi. Namun mengingat tak ada orang lain selain aku dan Liya di rumah itu, aku memilih menetap di posisiku saat itu. Aku bertanya-tanya mengapa ia kembali lagi setelah tujuh belas agustus bulan lalu jelas-jelas ia telah mendapat penolakan dari seisi rumah. Meskipun aku tahu mereka menolaknya bukan untuk mendukungku, melainkan untuk memenangkan hatiku.

"Hey, Reksa" sapanya dengan lembut yang dibuat-buat padaku membuatku membuang pandang.

"Abah ada?". Tanyanya padaku. Tapi aku hanya diam.

"Reksa". Panggilnya sekali lagi setelah mendapatiku tak meresponnya sama sekali.

"Ini Mas Haris, calon ayahmu".

"Hai, Reksa". Sapa lelaki yang disebut wanita itu sebagai calon ayahku.

Aku tersenyum getir mendengarnya. "Bahkan, aku tak tahu Ibuku siapa".

"Reksa". Ucapnya memekik lalu dengan cepat mendudukkan dirinya dan menarik tangan lelaki itu untuk duduk disampingnya seraya memandangku dengan lekat dan memantapkan posisi duduknya. "Mengapa Kau selalu berkata seperti itu Reksa, aku ini Ibumu".

"Jika Kau Ibuku, Kau tidak mungkin meninggalkanku sendiri di jalanan malam itu dan pergi bersama lelaki yang entah siapa itu".

"Reksa, sungguh saat itu aku tak pernah ingin meninggalkanmu."

"Lalu kenapa kau melakukannya?."

"Aku hanya ingin mengamankanmu sejenak, tapi saat aku kembali setelah itu, kau tidak ada di tempatmu. Aku mencarimu dan aku tak kunjung menemukanmu."

"Dan kau pasrah begitu saja lalu menganggapku telah tiada?. Atau malah itu sebenarnya yang kau mau, Nyonya?"

"Tutup mulutmu." Ucapnya spontan.

"Kau menampakkan wajah aslimu." Aku tersenyum getir. "Kau tak pernah tahu apa yang terjadi selepas kau pergi. Lalu kau kembali lantas mempertanyakan di mana keberadaanku saat itu?."

"Apa?. Apa yang terjadi? Sampai kau begitu marah padaku Reksa."

"Kau sungguh ingin tahu apa yang terjadi?." Tanyaku padanya. Ia hanya diam mendengarnya. Mungkin sedang menerka jawabannya. "Selepas kau pergi, aku telah mati. Ma-ti." Ucapku sekali lagi. "Karena itu kau tidak menemukanku, bukan?."

Di Persimpangan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang