"Aku harus berterima kasih padanya yang telah memberiku arti tentang bagaimana menjadi tangguh menghadapi badai, juga mengajariku bagaimana tetap bergerak di dalam pusaran arah yang tak tentu".
🍁🍁🍁
Ring...ring...ring..
Berkali-kali kucoba menghubungi sosok yang ada di sana. Suara dering telepon di seberang sana tak kunjung dijamah oleh pemiliknya. Entah dimana sekarang ia berada. Tak dengarkah panggilanku?. Atau sengaja ia mengabaikanku?. Kesal. Tapi..ah mengapa aku harus kesal?. Toh dia bukan siapa-siapa bagiku. Teman. Ya, hanya sebatas teman yang kutemui seminggu yang lalu. "Isshhh, menyebalkan" gerutuku dalam hati. kulempar handphoneku ke kasur bercorak logo tim sepak bola kesukaanku. Berwarna biru dengan sedikit polet merah di sekelilingnya.
Salahkah jika aku merasa kesal?. Aku hanya ingin mendengar suaranya yang kecil itu. Tepatnya lagi, aku rindu. Aku merindukan si pemilik suara itu. Rindu berbincang dengannya. Rindu melempar kata canda padanya. Dan rindu berbagi kisah dengannya. Tak pernah ku merasa senyaman ini berkisah pada gadis tentang resah yang bercokol dalam jiwa. Seperti dedaunan kering yang lama tak dihujani air langit. Seperti itulah kiranya saat ku berkisah padanya.
Dret..dret..
Suara handphoneku bergetar membuyarkan lamunanku. Ku lihat siapa pemilik nama yang tertera di layar. Mataku terbelalak setelah sesaat aku membaca nama itu. Betapa senangnya aku. Di layar ponselku nama Hanindya tertulis sebagai pengirim pesan yang baru saja masuk. Tentu saja ku baca cepat-cepat. Ada apa gerangan?. Apakah ia merasa bersalah tak mengangkat panggilanku tadi?. Atau..ah Reksa. Untuk apa kau menerka-nerka. Tentu saja ia bertanya "kenapa". Selalu kata itu tak pernah tertinggal disentuh oleh jari jemarinya. Seperti tak ada diksi lain yang ia punya.
"Ada apa tadi telpon?".
Aku tersenyum girang. Ternyata setelah seminggu ini aku bercengkerama dengannya melalui jari-jari yang menari di atas papan huruf yang berderet rapi tak sia-sia. Yang biasanya ia hanya menulis sepatah kata kali ini mulai bertambah suku katanya.
"Katamu Kau ingin ke toko buku hari ini, bolehkah aku menemanimu Hanin?".
Ya, seminggu ini aku selalu saja menelponnya. Walaupun tak banyak yang dia jawab, aku telah hafal bagaimana suaranya. Saat ia marah. Saat sedang kesal. Dan tentunya, aku tahu bagaimana tawanya. Sebab aku selalu ingin membuatnya tertawa. Aku ingin menjadi penyebab lesung pipi itu lahir saat ia tertawa.
Aku jadi ingat bagaimana aku bisa mendapatkan nomornya, bagaimana aku bisa mengetuk pintu di ruang hidupnya dan sabar menunggu sampai sang pemilik membukakan pintunya. Namun saat pintu terbuka, yang kulihat hanyalah sebuah kegelapan. Saat itu aku berpikir, aku sedang tersesat.
Jum'at, 29 September 2017
Sepoi-sepoi angin mengibaskan rambutku yang lusuh. Mengajak bulu-bulu rambut di sekujur tangan menari bersama partikel-parikel kecil yang tertiup oleh angin sore. Entah kemana angin membawa partikel itu terbang. Debu, orang sering memanggilnya seperti itu. Kala angin menyapa, ia hanyut bersama desiran angin menghampiri sang mentari yang mulai tenggelam. Melayang-layang di udara tanpa sayap di sisi kanan kirinya. Ingin ku tanya pada setitik debu mungil. Apakah ia menerima kehadiran angin yang membuatnya terbang di udara layaknya teman-temannya yang memiliki sayap di kedua sisinya?. Atau, ia malah membenci angin yang membuatnya terombang-ambing, membenturkannya kesana kemari dengan kerasnya?. Lalu merasa tenang kala tiupan angin mulai berhenti. Karena saat itulah, ia bisa duduk tenang bersandar di bahu jalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomantizmSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti