"Karena diantara nikmat yang patut kita syukuri Mas, adalah dikaruniainya hati yang lapang dalam menerima ketetapan yang sudah terjadi".
***
Libur sekolah nanti, aku ingin balas dendam dengan tidurku. Sebab, akhir-akhir ini aku mendapati jam tidurku semakin carut-marut. Semalam saja, aku hanya tidur 2 jam dari jam 8 sampai jam 10. Entah mengapa di jam-jam tersebut rasanya aku tak bisa menahan kantuk yang teramat sangat. Baru setelah lewat jam 12 malam, malah mata susah untuk terpejam. Begitu banyak hal-hal yang berputar di atas kepala. Entah hal-hal dari masa lalu yang tak dapat kuulangi atau hal-hal di masa depan yang entah akan terjadi atau tidak.
Karena tak bisa tidur, aku memutuskan keluar rumah. Barangkali semilir angin malam dapat membangkitkan kantukku.
Aku melangkahkan kaki hendak menuju dapur mengambil air minum. Saat kulihat pintu depan yang tak menutup sepenuhnya, aku penasaran. Kuhampirilah jadinya.
"Abah".
"Belum tidur?". Tanya lelaki yang menemani Abah duduk di teras depan rumah. Dia adalah Mas Hirsaf, anak pertama Abah.
"Baru bangun malah". Jawabku sambil nyengir.
"Duduk Mas". Abah melihat tempat kosong di sebelah Mas Hirsaf. Aku pun duduk menyilakan kakiku di sana. Kini, Abah, Mas Hirsaf dan aku duduk bertiga dikelilingi kepulan asap rokok yang mereka isap. Jika sudah begini, teras, langit malam , kopi dan rokok, pastilah ada pembahasan empuk yang dibicarakan.
"Abah kapan pulang?". Terhitung sudah dua hari ini Abah pergi ke luar kota.
"Baru tadi malam, mungkin pas Mas Reksa tidur". Aku hanya mangut-mangut mendengarnya. "Mas". Panggil Abah dengan suara beratnya.
"Iya Bah".
"Setelah ini mau ke mana?". Maksud Abah adalah tentang rencanaku setelah lulus sekolah. Aku tak menjawabnya sebab belum terpikirkan olehku bagaimana kelanjutannya.
"Mas Reksa, engga ada pikiran buat nemenin Ibu Mas?". Sontak aku langsung mendongakkan kepala mendengar pertanyaan Abah.
"Maksud Abah?".
"Begini Mas, Abah sempat berbicara dengan Elea, Ibunya Mas. Menurut Abah, Elea punya maksud yang baik untuk memperbaiki hubungannya denganmu Mas. Jadi tidak ada salahnya jika Mas Reksa juga mau menerima Elea sebagai Ibumu Mas dengan tinggal bersamanya".
"Abah sudah engga mau Reksa tinggal di sini?".
"Abah sangat senang Mas Reksa di sini".
"Lalu?".
"Elea butuh Mas Reksa sebagai anaknya Mas".
"Ke mana ia saat Reksa membutuhkannya sebagai Ibu, Bah?. Abah engga perlu repot meminta Reksa tinggal bersamanya jika memang kehadiran Reksa di sini mungkin mengganggu Abah. Reksa bisa cari tempat tinggal lain Bah".
"Sa". Kali ini Mas Hirsaf angkat bicara. "Maksud Abah bukan begitu".
"Ya sudah". Abah yang tak ingin aku berdebat dengan Mas Hirsaf mulai menengahi. "Kalau memang Mas Reksa belum siap. Tidak apa-apa Mas. Tapi pesan Abah, Mas Reksa coba ya membuka hati pelan-pelan memaafkan Ibunya Mas. Apa yang terjadi kan sudah terjadi Mas, tidak bisa diubah. Abah berharap dan berdoa semoga Mas diberi hati yang lapang untuk menerima keadaan yang sudah menjadi ketetapan untuk Mas. Karena diantara nikmat yang patut kita syukuri Mas, adalah dikaruniainya hati yang lapang dalam menerima ketetapan yang sudah terjadi". Aku mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomanceSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti