"Karena untuk melupakan, butuh ingatan yang kembali membuka sayatan luka yang pernah ditorehkan".
🍁🍁🍁
Hari itu, aku sedikit kecewa pada semesta. Mengapa ia tak berpihak padaku?. Mengapa ia tak membawaku pada jawaban yang sungguh ingin kuketahui?. Apakah waktu belum sampai untuk aku menunggu. Namun ini terlalu lama, sudah terlalu lama. Semesta hanya memancingku, untuk mengeluarkan tanda tanya tanpa mau memberi jawabannya.
Hari itu, tanya semakin meronta. Semakin menggema di telinga. Semakin nyata di depan mata. Namun tertunda, sebab suara tertahan pada kerongkongan. Sebab yang kutanya sudah tiada.
Malam ini, kulihat langit begitu bersinar. Ditemani ribuan bintang yang tak membiarkan rembulan mengangkasa tanpa teman. Sementara aku, begitu kontradiksi dengan langit. Di sini aku sendiri. Bertemankan sepi. Berselimut sunyi. Berbalut harap yang tiada pernah bertatap. Bermain nada nostalgia, tapi tak tahu bagaimana melafalkannya. Hanya sebatas gumam yang aku sendiri pun tak memahaminya. Karena untuk memahaminya perlu rasa yang menjiwai. Sementara aku tak ingin lagi menikmati rasa itu. Terlalu sakit. Bahkan hanya untuk diingat. Biarlah semua itu berlalu seiring berjalannya waktu. Karena untuk melupakan, butuh ingatan yang kembali membuka sayatan luka yang pernah ditorehkan.
🍁🍁🍁
Kau, mungkin bertanya tentang Salwa. Baik, kan kuberi tahu siapa dia. Dia adalah teman kecilku. Teman. Hanya teman. Teman berbagi cerita. Teman berbagi canda. Teman berbagi tawa. Namun tidak untuk rasa. Kami hanya dua anak kecil yang saling bercengkerama untuk melepas tawa. Saling bergandeng tangan untuk berpegangan kala bahaya mulai menerpa. Kami hanya dua anak kecil yang tak tahu apa-apa. Namun mustahil jika tak memiliki rasa apa-apa.
Waktu memaksa kami untuk tumbuh. Tumbuh tinggi. Tumbuh besar. Bahkan tumbuh rasa. Hanya saja, waktu tak mengizinkan kami tumbuh bersama. Dia pergi sebab alasan cinta. Cinta pada orang tua tentunya. Aku tak pernah mencegahnya. Karena memang benar alasannya.
Saat itu, ia berjanji akan kembali. Bukan untuk diriku, melainkan untuk kami. Ya. Kami, aku dan dia. Dua anak kecil yang selalu ingin bersama. Namun berbeda latar belakangnya. Aku menginginkannya sebagai pelepas tawa. Sedang ia menginginkannya sebagai penawar rasa. Terdengar menyakitkan. Namun apa harus aku memaksa?.
"Kau tak ingin mengatakan sesuatu padaku, Reksa?". Tanyanya kala ia hendak pergi.
"Pergilah kemanapun kau ingin pergi, Salwa". Saat itu, ia langsung menatapku tajam. Seolah memendam kecewa, juga meredam air mata. Seolah berkata, "bukan itu yang ku mau Reksa". Sungguh saat itu aku tahu keinginannya, berharap do'a dariku tercucur untuknya. Bahkan hanya sekedar ucapan sampai jumpa. Memastikan bahwa kisah ini akan terangkai kembali nantinya, selepas kehadirannya kembali ke tempat ini. Namun, aku memilih melontarkan kalimat itu. Seolah aku makhluk terkejam baginya. Aku hanya tak ingin memberinya ucapan yang salah diartikan. Yang malah menyakitkan bila tak memenuhi harap yang dilambungkan nantinya. Lama ia menatap. Hingga sampai akhirnya ia berkata " Aku pamit".
Hari-hariku tanpanya, terasa biasa saja. Tak ada yang kurang, pun tak ada yang lebih. Karena kepergian sudah terlalu biasa untuk rasa yang seharusnya ada. Sebab rasa yang seharusnya ada menjadi tiada karena hadir yang menghalangi jalan terciptanya rasa. Atau mungkin, mati rasa yang sedang kurasa?. Namun mustahil jika aku mati rasa. Nyatanya, aku masih merasa, walau yang kurasa tak lain adalah mati rasa.
Entahlah, aku pun bingung dengan rasaku sendiri. Seperti masih ingin berharap, tapi takut dipatahkan masa depan. Seperti ingin melupakan, tapi takut dihantui kenangan.
Aku mencoba menetralkan kembali pikiranku. Tak selayaknya aku selalu memikirkan hal ini. Materi sekolah, mungkin lebih penting dari sekedar menerka-nerka rasa yang ada. Dan baru kuingat, buku diatas meja belum kusentuh sama sekali. Maaf.
🍁🍁🍁
Biarlah semesta yang menyuguhkan cerita
Kita nikmati saja dengan secangkir kopi berdua
Biar pahit yang dirasa gugur oleh manisnya senyummu
Biar manis yang dirasa meneduhkan tatapanmu
Ingatlah
Tuhan selalu memberi takdir terbaik untuk manusia
Manusia tak bisa lari darinya
Manusia hanya bisa menjalaninya
Maka dari itu, jalani saja dengan sebaik-baik perjalanan
Hingga pada akhirnya, kita (manusia) benar-benar mengerti
Tuhan tak pernah salah memberi pelajaran
Melalui takdir yang Dia berikan
Rabu, 2 Agustus 2017
Reksa.🍁🍁🍁
Sejauh ini, apa yang kau rasa?
Tak ada?
Atau ada tapi tak tahu bagaimana rasanya?
Apapun yang kau rasa
Kuharap kau selalu bahagia
😊😊Sabtu, 19 Desember 2020
senjauni
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Jalan Pulang
RomanceSeperti sebuah jalan, begitulah hidup berjalan. Ada yang datang lalu pergi. Silih berganti