🐻
-happy reading-
"Lo anterin paketnya besok pagi, ya!" seru lelaki di seberang sana."Maksud lo apaan dah?!" seru balik gadis bernama Sila. Lengkapnya Arsila Kyaqsa Trifan.
Gadis itu menghela napas lesu. Pandangannya menatap kotak besar yang ia letakan di kursi belajarnya.
"Bang Sahril besok free 'kan? Lo minta dia anterin lo aja," jawab lelaki yang merupakan sepupu Sila. Danu Aji Prayoga, nama lelaki itu.
"Kenapa harus gue yang nganterin paket lo, sih?" tanya Sila kesal seraya mengalihkan pandangannya ke arah meja di hadapannya.
"Gue harus nganterin bokap check up besok," jawab Danu masih mendesak agar adik sepupunya itu setuju.
Sila berdesis pelan. "Alasan aja lo."
"Jadi, mau ya?" tanya Danu memastikan.
Sila menundukan kepalanya. "Tergantung Bang Sahril mau apa enggak," jawabnya. Cukup susah baginya untuk keluar dari desakan seorang Danu.
"Abang lo dah setuju. Besok tinggal cuss ke rumah teman gua. Oke," ucap Danu yang membuat Sila mengangkat kepalanya. Gadis itu sedikit terkejut dengan ucapan sepupunya.
"Seriusan lo?!" tanya Sila agak ngegas.
"Serius lah! Udah ya, gue mau tidur. Dah," tutup Danu yang langsung mematikan sambungan sepihak.
Sila mendengkus kesal. Ia menurunkan ponsel miliknya lalu membaringkan tubuhnya di kasur.
Ia begitu malas untuk keluar rumah besok pagi. Karena ia sudah berencana untuk menonton film di rumah saja. Tapi sudahlah, ia sudah diberi amanat. Ia harus ikhlas.
"Kebangetan lo," decaknya.
•••
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Sila bersama Sahril berangkat menuju alamat temannya Danu. Lumayan jauh dari letak rumahnya. Bisa menguras bensin cukup banyak.
Sila mengerti alasan Danu menjadikannya dan abangnya sebagai kurir. Agar lelaki itu tak keluar sepeser pun uang. Tapi ia merasa bingung dengan abangnya.
Biasanya Sahril akan menolak permintaan seperti mengantarkan paket. Karena ya menghabiskan tenaga dan biaya.
"Bang, lo disogok apa ama Bang Danu?" tanya Sila mengeraskan suaranya. Karena jika suaranya ia buat biasa akan terkalahkan oleh derasnya terjangan suara angin.
"Enggak ada. Gue pingin jalan-jalan aja," balas Sahril yang juga mengeraskan suaranya.
Sila menyipitkan kedua matanya, sedikit meragukan ucapan abangnya. "Jangan bohong lo, Bang," ucapnya curiga.
"Beneran, Arsila. Gak baik loh suudzon," balas Sahril berakhir menasehati adiknya. Ia menatap adiknya melalui spion motor sebelah kiri.
"Iya, deh, percaya," ujar Sila mengiyakan.
Sahril terkekeh pelan. Lalu pandangannya kembali menatap jalanan depan. Ia terus melajukan motornya dalam kecepatan sedang. Setelah belokan di pertigaan tadi, ternyata masih cukup jauh.
"Masih lama ya, Bang?" tanya Sila.
Sahril pun kembali menatap adiknya dari kaca spion. Ia merasa kasihan karena adiknya terlihat begitu kesusahan dalam membawa paket yang cukup besar.
"Lumayan," jawabnya singkat dan kembali fokus.
•••
"Gue mau beli minum bentar, ya?" tanya Sahril setelah Sila turun dari jok belakang motornya.
Sila menatapnya dengan dahi berkerut. "Jangan lama-lama," jawabnya mengiyakan. Meskipun ia sedikit tak suka.
"Mau nitip gak?" tanya Sahril lagi dan dibalas gelengan.
"Oke, dah," lanjutnya. Lalu ia melajukan kembali gas motornya meninggalkan adiknya sendirian.
"Inilah alasan gue gak mau nganter paket," gumam Sila setelah abangnya pergi.
Kedua matanya kembali terfokuskan pada pemandangan di depannya. Rumah di depannya cukup besar dan luas. Ia menganggukan kepala, cukup kagum.
Lalu ia melangkahkan kakinya menuju pos satpam di sebelah kirinya. Si satpam tersenyum lebar ke arahnya.
"Cari den Syaqib, ya?" tanya pak satpam langsung.
"Iya, Pak," jawab Sila langsung menganggukan kepala.
"Sebentar ya, saya panggilkan orangnya. Duduk dulu, Mbak," ucap satpam dan dibalas anggukan saja oleh Sila.
Lalu si satpam hilang dari pandangan Sila. Gadis itu pun menuruti ucapan si satpam. Kedua kakinya cukup pegal dan tangannya pun sama. Ia menunggu.
Tak lama kemudian terdengar suara gerbang dibuka. Kepala Sila tertoleh menatap seorang lelaki yang ia tak kenal.
"Paket dari Danu, ya?" tanyanya langsung. Ia berjalan menghampiri Sila.
Dengan cepat Sila berdiri dari duduknya. Ia menatap sang satpam yang mengacungkan jempol kanannya. Sila pun menganggukan kepala dengan senyuman tanda terima kasih.
Namun, sayangnya senyuman itu tertutupi oleh masker yang ia kenakan. Lalu pandangannya beralih menatap lelaki yang telah berdiri di hadapannya.
"Iya," jawab Sila seraya menyerahkan paket tersebut.
Lelaki bernama Syaqib itu pun menerima paket tersebut. "Makasih, ya," ucapnya setelah paket tersebut beralih tangan.
Pandangan keduanya bertemu dan tersenyum di balik masker yang mereka kenakan. Sila menganggukan kepalanya. "Iya," jawabnya.
Kedua mata Syaqib beralih menatap paket di tangannya. Lalu menatap sekitar. "Lo ke sini sendirian?" tanyanya berakhir menatap gadis di hadapannya.
Sila masih menatap lekat lelaki di hadapannya. Ia menggelengkan kepalanya. "Gue dianter sama abang gue," jawabnya lalu mengalihkan pandangan.
"Terus abang lo di mana?" tanya Syaqib lagi masih menatap lekat gadis di hadapannya.
Tubuh Sila refleks berbalik menghadap jalanan abangnya pergi tadi. "Dia pergi cari minum," jawabnya berharap abangnya akan segera datang.
Benar saja, terlihat Sahril datang. Saat hendak sampai di depan gerbang rumahnya Syaqib, Sahril menekan tombol klakson.
Sahril yang baru datang lalu menganggukan kepala menatap Syaqib yang membalas anggukan tersebut. "Sudah 'kan?" tanya Sahril beralih menatap adiknya.
Sila menganggukan kepala sekali. Lalu pandangannya kembali menatap Syaqib. "Gue pulang. Dah," pamitnya dan dibalas anggukan.
"Hati-hati dan makasih," ujar Syaqib saat Sila sudah duduk di jok belakang.
Sahril kembali menekan tombol klakson seraya menjalankan motornya. Kedua matanya menatap sebentar mata Syaqib. Begitu pun dengan Sila.
Sedangkan Syaqib menganggukan kepalanya lalu menatap kepergiaan kedua tamu yang tak ia biarkan masuk ke rumahnya.
Ia mengendikan kedua bahunya setelah motor yang membawa tamunya memghilang dari pandangannya. Ia menatap sebentar paket di tangannya. Lalu ia pergi masuk ke dalam rumahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TAKSA
Teen FictionTAKSA Arsila, ia telah menemukan obat untuk luka lamanya. Ia sudah mulai bisa tersenyum hangat kepada orang asing. Namun, obat yang telah ia temukan terasa tarka baginya. Ia ingin tahu apa obatnya itu akan bertahan lama untuk dirinya. Jika tidak, ia...