Sila berjalan lebih cepat saat pulang sekolah karena ia ingin menemui lelaki yang selalu meneror pikiran dan hatinya. Ya, ia akan menemui Azmi. Ia akan menunggu di depan kelas lelaki itu.Langkahnya terhenti tepat di bangku yang diletakan di depan kelas 11 IPS 3. Kemudian ia mendudukan dirinya seraya bernapas lega. Karena ia masih mendengar murid kelas tersebut sedang melaksanakan doa.
Tak lama kemudian penghuni kelas tersebut berhamburan keluar kelas. Beberapa pasang mata menangkap dirinya dengan raut bertanya. Tapi mereka langsung paham alasan Sila duduk di depan kelas tersebut.
Ternyata gerombolannya Azmi keluar dari kelas terakhir. Tawa yang timbul antara Rizky dan Danu terhenti ketika Sila menghampiri mereka bereempat.
Tatapan Sila pun langsung tertuju pada Azmi yang hendak pergi tapi dengan cepat dihentikan oleh Sila. Rizky, Danu, dan Raka lebih memilih diam, tak ingin ikut campur untuk saat ini.
"Gue mau ngomong sesuatu yang penting sama lo. Bisakah kita-"
"Gue sibuk," sela Azmi seraya melepas pelan cekalan pada tangannya.
"Gue udah naruh kepercayaan kepada lo. Jadi, gue mau denger sendiri penjelasan dari lo, Kak." Sila menatap dengan harapan besar kepada Azmi yang enggan menatapnya balik.
"Mi," panggil Raka meminta lelaki itu agar segera menerima ajakan dari Sila. Karena setelah Sila melontarkan permintaan, butuh waktu cukup lama untuk Azmi menjawab.
Akhirnya Azmi menatap lekat ke arah gadis di hadapannya. Meskipun tatapan yang ia lemparkan terkesan dingin. "Bukankah sudah jelas semuanya?" tanyanya.
Sila menggelengkan kepalanya, "Gue akan merasa semuanya jelas setelah gue denger sendiri penjelasan dari lo. Jadi, mohon kita ketemuan."
Azmi membuang napas berat, ia tak ingin menemui gadis itu lagi. "Iya, nanti Azmi bakal ketemuan sama lo kok. Gue yang jamin," sahut Rizky seraya berjalan lalu berdiri di samping kiri Azmi.
"Mau ketemuan di mana?" lanjutnya bertanya dengan senyuman mengembang.
Tapi Sila ... ia kembali menatap Azmi yang kembali membuang wajah dari tatapan Sila. "Di taman dekat rumah sakit," jawabnya.
Danu berjalan menghampiri sepupunya. "Udah Sil, Azmi nanti bakal ketemuan sama lo dan jelasin semuanya. Ayo, gue antar lo pulang," timpalnya seraya meraih lengan Sila untuk pulang.
"Gue tunggu sore ini." Sila pun menuruti perintah sepupunya dan berjalan beriringan untuk pulang. Ia berharap Azmi akan menemuinya nanti.
•••
Sudah satu jam Sila menunggu di taman sendirian, ia mulai gelisah. Ia sudah mengirimkan pesan dan mencoba menelpon Azmi.
Kepalanya tertunduk dengan kedua mata yang ia biarkan terpejam. Ia berdoa jika harapannya bisa terkabul. Ia ingin semuanya jelas baginya. Jadi, tak ada beban pikiran lagi.
Tiba-tiba ia merasakan seseorang duduk di sampingnya. Dengan cepat ia melihat siapa yang duduk di samping kirinya. Ternyata Azmi yang baru saja datang.
Kenapa Sila tak mendengar suara motor lelaki itu, apa mungkin jika Azmi berjalan menuju taman ini. Seketika pikirannya dipenuhi pertanyaan mengenai Azmi yang masih diam.
"Akhirnya lo datang," ucap Sila seraya mengembang senyumnya. Ia bersyukur--terdengar helaan lega keluar dari mulutnya. Namun, Azmi masih diam tanpa menatapnya balik.
"Oke, maaf jika gue terkesan maksa lo buat datang ke sini." Lagi-lagi Azmi memilih diam. Hal itu menimbulkan keraguan di hati Sila untuk bertanya inti permasalahannya.Sila menarik napas panjang lalu memperbaiki posisi duduknya dengan nyaman untuk menghadap ke arah lelaki di sampingnya. Ia menundukan kepalanya sejenak lalu kembali menatap lekat Azmi.
"Apa benar kalian pacaran?" tanya Sila. Akhirnya ia dapat mengeluarkan pertanyaan itu.
"Reina prioritas gue selamanya," jawabnya Azmi seraya menatap balik Sila.
Terlihat guratan kesedihan di wajah Sila. "Jadi, benar kalian pacaran?" tanyanya lagi untuk memastikan. Terdengar suaranya yang bergetar ketika mengajukan pertanyaan lagi kepada Azmi.
"Sepenting itukah hubungan gue dengan Reina?" tanya balik Azmi masih menatap Sila.
"Apa lo gak nyadar kalo yang lo lakuin ke gue itu berharga? Tapi lo gak pernah sekalipun jelasin maksud sikap terutama tatapan lo kepada gue," jawab Sila dengan wajah memerah karena perasaannya yang kesal.
"Seharusnya lo gak terlalu ambil hati terhadap tatapan gue sebelum mulut gue berkata 'iya'. Lemot banget buat ngerti hal semudah itu," balas Azmi sarkas. Lalu ia mengalihkan pandangannya yang membuat Sila menahan ledakan kesedihan di hatinya.
Sila tertawa hambar mendengar jawaban dari Azmi. "Iya, gue tahu kalo gue emang lemot." Sejujurnya ia ingin menangis karena ledekan dari lelaki di sampingnya yang benar-benar berubah menjadi orang asing baginya.
"Gue gak tahu apa yang lo katakan ini kejujuran atau justru kebohongan. Tapi yang gue tahu alasan kenapa lo berubah yaitu karena Reina," lanjutnya menganggukan kepala setuju dengan ucapannya sendiri.
"Artinya itu bagus untuk hubungan di antara kami," ujar Azmi menatap balik Sila dengan senyuman mengembang.
"Tapi tidak bagus untuk gue," balas Sila cepat.
Napas Azmi seketika memburu lalu ia mengalihkan tatapannya lagi, "Reina itu prioritas bagi gue." Ia menekankan ucapannya.
"Maksudnya?" tanya Sila tak paham.
"Lo gak kenal dengan dia dan gue harap lo jangan pernah kenal dia atau berhubungan dengan dia," jawab Azmi yang tak menjawab pertanyaan dari Sila.
"Kenapa gue gak boleh kenal dengan Reina?"
Azmi menatap tajam ke arah Sila. "Karena gue gak izinin lo," jawabnya.
"Lo tu benar-benar taksa bagi gue," balas Sila seraya mengalihkan tatapannya dengan helaan lelah.
"Apa menurut lo, Reina itu selera buat gue?" Kini giliran Azmi bertanya balik dengan tatapan mengarah pada gadis di sampingnya yang bergantian enggan menatapnya.
"Gue gak tau." Sila merasa malas untuk meminta kejelasan dari Azmi.
"Jawab selain kalimat itu!" seru Azmi memaksa.
Perlahan Sila menatap kembali lelaki di sampingnya, "Reina prioritas lo jadi memang selera buat lo."
Lalu terpampang senyuman tipis di wajah Azmi, "Lo benar." Ia pun menganggukan kepalanya.
"Gue selera lo tapi gue rasa lo gak serius dalam memilikinya," balas Sila dengan getaran di bola matanya. Ia menahan desakan air matanya. Namun, Azmi diam dengan tatapan lekat pada Sila.
"Gue selalu berharap gak akan ada luka yang gue terima lagi dari orang yang gue anggap berharga. Tapi lo hancurin semua itu. Lo gak terasa obat lagi bagi gue. Lo ...."
Pertahanan Sila seketika runtuh. Ia menundukan kepalanya dengan aliran air matanya. Ia tak mampu melanjutkan ucapannya. Ia benar-benar sudah lelah memaksa lelaki di sampingnya untuk bicara secara gamblang.
Tubuh Azmi membeku tatkala ia melihat Sila menangis. Ia merasakan luka yang sama. Gadis itu mengatakan jika dirinya ialah obat bagi Sila.
Namun, ia menghancurkan semuanya. Ia yang memberikan kebahagiaan pada Sila dan ia pula yang menghancurkannya. Ia ingin merangkul gadis itu, menenangkannya. Tapi ia tak bisa melakukan hal itu.
"Maafin gue, La." Hanya kalimat itu yang bisa ia lontarkan. Sila memilih menenangkan dirinya terlebih dahulu.
Kemudian terdengar nada dering dari ponsel Azmi. Dengan cepat ia mengangkat panggilan masuk. Setelah mengatakan kesanggupan ia menutup panggilan tersebut dan memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
"Gue harus pergi. Reina butuh gue sekarang."
Setelah mengatakan itu, Azmi langsung bergegas pergi. Ia meninggalkan Sila yang beralih menatapnya dengan isakan semakin besar.
Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKSA
Teen FictionTAKSA Arsila, ia telah menemukan obat untuk luka lamanya. Ia sudah mulai bisa tersenyum hangat kepada orang asing. Namun, obat yang telah ia temukan terasa tarka baginya. Ia ingin tahu apa obatnya itu akan bertahan lama untuk dirinya. Jika tidak, ia...