008. PULANG

16 13 0
                                    

🐻

Sila bernafas lega. Tubuhnya begitu capek, mungkin karena masih tahap adaptasi dengan pelatihnya. Ia telah mengirimkan pesan kepada abangnya untuk segera menjemputnya dan sudah dibalas dengan persetujuan.

Ia pun berjalan menuju luar gerbang untuk menunggu abangnya. Ia berharap tak lama.

Ia berdiri di depan dinding bertuliskan nama sekolahnya. Beberapa siswa yang ikut ekstra telah meninggalkan halaman sekolah.

Ia merasa seperti bocah hilang jika ia benar-benar menjadi yang terakhir dijemput. Ia berdesis pelan. Ia mulai gelisah.

Lalu sebuah klakson motor dari arah kirinya mengalihkan fokusnya. Motor itu berhenti tepat di hadapannya. Mereka ialah kedua sahabatnya.

"Belum dijemput?" tanya Andra yang duduk di jok belakang. Sila menggelengkan kepalanya.

"Kalo lama mending lo pesen ojek aja," saran Ferian.

Sila beralih menatap Ferian. "Tapi gue udah bilang ama Bang Sahril. Mungkin gak lama lagi nyampe dia," ucapnya tersenyum, mencoba tenang.

"Kalian duluan aja," lanjutnya menatap dua lelaki di hadapannya dengan senyuman masih menghiasi wajahnya.

Andra dan Ferian merasa ragu dengan ucapan Sila. Mereka ingin menemani gadis itu.

"Beneran gak papa? Mau hujan loh," balas Andra cemas.

Sila menganggukan kepalanya mantap. "Udah malam, pulang sana," usirnya.

"Kalo lama pesen ojek aja," ulang Ferian berharap Sila menuruti sarannya.

"Iya." Sila mengangguk samar.

"Kalo ada apa-apa hubungi kita, ya?" tanya Andra masih dengan raut cemas.

Sila tersenyum simpul, "Iya, Andra. Udah sana pulang."

Ferian pun membunyikan klakson motornya. Lalu ia melajukan motornya untuk pulang. Andra melambaikan tangan kanannya sebentar dan dibalas oleh Sila.

Terdengar helaan sedih keluar dari mulut Sila. Pandangan matanya mengikuti laju motor sahabatnya yang menjauh.

Lalu ia beralih menatap sekitarnya. Sudah sepi ternyata.

Ia pun memutuskan untuk menunggu di kursi depan ruang guru. Tak lupa ia mengirimkan pesan lagi kepada abangnya.

Saat ia telah mendaratkan pantatnya di kursi tak lama kemudian rintikan hujan berjatuhan. Helaannya semakin berat. Ia begitu cemas.

Ia pun memilih mengalihkan kecemasannya dengan membuka beberapa aplikasi secara random. Ia begitu gabut.

"Gue boleh duduk sini?"

Sila begitu terkejut lantas ia melihat siapa yang bertanya kepadanya. Mulutnya terbuka sedikit, "Boleh."

Azmi tersenyum tipis lalu mendudukan dirinya di sebelah kanan Sila. "Nunggu jemputan, ya?" tanya Azmi menatap gadis di sampingnya.

Sila menatap sebentar dan beralih menatap layar ponselnya. "Iya."

Azmi beroria saja. Lalu ia lebih memilih menatap rintikan hujan yang mulai lebat. Keduanya saling diam dan canggung.

Sila sangat berharap abangnya segera datang. Ia sungguh tak nyaman dengan situasi saat ini. Kedua matanya juga memilih menatap rintikan hujan dan mematikan layar ponselnya.

Di antara keduanya tak ada yang ingin membangun obrolan. Suasananya begitu dingin.

Lalu terdengar getaran pada ponsel Sila. Buru-buru ia mengangkat panggilan masuk dari abangnya. Ia langsung berdiri dan berjalan menjauh dari Azmi.

"Lo di mana? Lama banget," sembur Sila langsung. Ia dapat mendengar suara bising di tempat abangnya berada.

"Maaf, ya. Kayanya lo harus pulang naik ojek. Gue gak bisa jemput," balas Sahril dengan nada bersalah.

Kedua mata Sila melebar seketika. "Maksud lo apa? Gue udah nunggu lama loh."

"Iya, gue tahu. Tapi motor gue mogok dan sekarang gue ada di bengkel. Gue udah nunggu lama," jelas Sahril.

Sila menutup kedua matanya untuk menahan amarahnya. Tentu saja, ia marah. Ia merasa telah diberi harapan palsu oleh abangnya.

"Lo kalo becanda kebangetan, ya," desisnya lalu membuka kedua matanya.

"Gue gak lagi becanda. Jangan marah, ya."

"Lo harus traktir gue mie ayam," ucap Sila mencoba tenang.

Belum sempat Sahril membalas ucapan adiknya. "Dah," tutup Sila mengakhiri panggilan.

Baiklah, ia harus sabar. Ia menatap sebentar hujan di hadapannya yang belum reda.

Ia berpikir akan berapa lama ia harus menunggu ojek di kala hujan seperti ini. Ia ingin menelfon sahabatnya, tapi ia merasa tak enak.

"Mau pulang bareng gue?" tanya Azmi yang membuat Sila membalikan tubuhnya.

Kini Azmi telah berdiri dan berjalan menghampiri Sila. "Udah sepi. Sebentar lagi Pak Khan bakal nutup sekolah," lanjutnya.

Ia telah berdiri di hadapan Sila yang masih diam. Gadis itu sungguh kebingungan.

Sila menatap lekat lelaki di hadapannya. Ada kesempatan untuk bisa pulang tanpa menunggu lagi. Tapi ia ragu karena ia tak terlalu kenal dengan Azmi.

"Gak usah lama mikirnya. Gue anggap lo setuju," putus Azmi cepat. Karena menunggu jawaban keluar dari mulut kecil Sila akan membutuhkan waktu lama.

Sila hendak mengatakan penolakan. Tapi sudahlah. Ia tak boleh menyiakan kesempatan.

"Lo bawa jas hujan 'kan?" tanya Azmi masih menatap lekat gadis di hadapannya.

Sila menganggukan kepalanya, "Bawa."

"Bagus deh. Pake dulu, gue mau ambil motor dulu." Azmi pun pergi menuju parkiran guru. Ia berlari cepat menuju motornya karena tak ingin terlalu basah.

Kedua mata Sila tak lepas menatap langkah Azmi. Kini lelaki itu telah sampai di samping motor dan segera memakai jas hujan yang diletakan di dalam jok.

Sila pun ikut mengeluarkan jas hujannya lalu memakainya. Setelah itu ia berjalan menuju pos satpam untuk menunggu Azmi.

Suara deru motor vespa warna kuning lembut milik Azmi menderung. "Nih pakai," ucapnya menyodorkan helm kepada Sila dan diterima baik.

Sila pun memakai helm tersebut seraya berjalan ke sebelah kiri motor. "Pakai yang bener," ingat Azmi melihat Sila yang masih memasang pengaman pada helm.

Sila menganggukan kepalanya. Setelah memakai helm, ia naik ke jok warna hitam bagian belakang motornya Azmi. Ia membenarkan posisi duduknya. "Udah," ucapnya.

Lalu Azmi menganggukan kepalanya dan membunyikan klakson. Setelah itu, mereka berdua meninggalkan halaman sekolah. Mereka segera pulang di bawah rintikan hujan yang masih berjatuhan keras.

Happy Reading
🐻🐧

TAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang