Awal manis, semanis madu

11 3 0
                                    

Dari awal MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) aku belum mengenal sosoknya. Lebih jelasnya, tak pernah tahu menahu tentang anak laki-laki sepertinya. Bahkan, melihatnya saja tak pernah. Sekalipun, kecuali saat kita masuk di dalam kelas yang sama. Ga

Tak ada bangku yang kosong, kecuali bangku paling depan yang di sisinya terdapat gadis seumuran ku. Gadis yang tampak lugu, dengan seragam kebesaran nya. Entah kesalahan sang penjahit atau memang sengaja memesan seragam yang sedikit kebesaran di tubuh nya. Dengan kaca mata bulat, dan gaya rambut yang di kepang dua. Mendominasi kegiatan nya yang tengah serius membaca buku.

Tanpa ragu-ragu, aku beranjak dari ambang pintu dan langsung duduk di bangku sebelah nya.

"Hai." Ucapku sedikit ragu, berhasil membuat nya menoleh.

"Kenalin, gue Naizila Graceva." Lanjut ku dengan seulas senyum.

Gadis itu ikut tersenyum, ia menjabat tanganku seraya berkata. "Saya Dinar Apriliana."

Aku terkekeh geli melihat sikap nya yang tampak sungkan. "Sans aja, gue nggak galak kok."

Mendengar penuturanku, Dinar hanya tersenyum tipis.

Hari pertama masuk sekolah untuk melaksanakan pembelajaran. Di jam pertama ini, selepas acara perkenalan. Tak ada guru yang masuk, terjadilah riuh di kelas yang ku tempati.

Tiba-tiba sebuah bolpoin mendarat di pelipis ku. Refleks, karena merasakan serangan aku mengeluh cukup keras. Membuat siswa-siswi di kelas menatap ku aneh.

Aku tersenyum kikuk. Sungguh, aku sungguh malu. Tak tahu harus berbuat apa selain menunduk sembari memegangi pelipisku yang terkena lemparan bolpoin. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berjalan ke arahku. Ia berdiri tepat di sampingku, dan akupun menoleh.

"Sorry ya, nggak sengaja." Ucap nya sambil cengengesan.

Aku berdecak kesal, "Lain kali jangan main begituan, untung nggak kena mata gue."

Ia masih tetap cengengesan. "Gue kan udah minta maaf."

Aku kembali duduk, sambil sesekali memperhatikan pergerakan nya yang tengah memungut bolpoin yang belum sempat aku ambil. Sebelum ia benar-benar beranjak, aku buru-buru meraih pergelangan tangan nya. Membuat sang empu menoleh sambil mengernyitkan dahi.

"Nama lo siapa?."Tanya ku.

"Nggak denger pas di absen tadi." Ujar nya.

Aku menghela napas. "Tadi gue nggak fokus."

Bukan nya menjawab ia malah berlalu pergi, kembali duduk melingkar bersama teman-teman nya yang duduk lesehan di lantai.

"Ih, ngeselin banget sih tuh bocah." Monolog ku sedikit keras, membuat Dinar menoleh.

"Nama nya Reli." Sahut Dinar berbisik.

Aku manggut-manggut. "Thanks ya."

Bel istirahat yang siswa-siswi nantikan pun berbunyi keras. Setelah memastikan tak ada lagi manusia di dalam kelas, aku memutuskan untuk mengajak Dinar keluar. Jujur saja, aku jenuh berlama-lama di dalam kelas. Terlebih tak ada teman ngobrol, bayangkan hampir tiga jam aku mengamati Dinar yang asik sendiri dengan  novel-novelnya.

"Kantin yuk, gue laper nih." Kataku membujuk.

Dinar menggeleng pelan.

"Kenapa?." Tanya ku.

"Nggak laper." Jawab Dinar tanpa menoleh.

Aku berpikir sejenak, lalu aku berusaha menarik tangan Dinar agar ikut bersamaku. Dinar malah memberontak.

Dua cangkir, dua rasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang