Penyembuh Luka

8 3 0
                                    

Angin semilir sore ini, mengantarkan matahari senja ke peraduan nya. Setiap bait kalimat tentang nya yang ku ucap seolah terbawa bersama dengan hembusan angin tersebut. Sinar jingga bergradasi biru langit itu tampak indah, namun sebagian cahaya nya tertutup gedung tinggi. Aku melamun seorang diri, di temani secangkir kopi susu yang baru ku seduh.

Pikiran ku terus berkelana tentang Reli yang dekat dengan Dinar. Aku tak boleh egois, lagi pula selama ini Reli tak pernah suka pada ku. Untuk apa aku memikirkan Reli yang sama sekali tak pernah memikirkan ku. Tak pernah peduli dengan ku, dan yang tak pernah menghargai perasaanku. Maklum saja, aku tak akan membiarkan sedikit celah pun mengenai perasaan ku pada Reli. Hanya saja, aku belum siap menerima jawaban Reli yang takut nya tak sesuai harapan ku selama ini.

Aku masih bingung, semenjak berpisah kelas itu. Aku tak lagi melihat Reli yang ceria dengan ku, Reli yang penuh tawa dengan ku, dan Reli yang akrab dengan ku. Namun, semua itu berubah dalam hitungan detik. Sejujurnya, aku ingin tetap dekat, aku dan dia menjadi dua insan yang saling melengkapi. Aku tak ingin hal ini terjadi.

Dering panggilan telfon dari ponsel yang tergeletak di atas ranjang itu membuyarkan lamunanku. Selama beberapa detik aku diam memperhatikan nama yang terpampang di layar ponsel. 'Delvin'. Untuk apa upil badak itu menelfon ku. Berhubung ini hal langka, aku meraih ponsel dan menggeser tombol hijau ke atas.

"Pantat kuda, bisa ketemuan nggak?"  Ajak Delvin dengan suara nyaring.

"Tumben, upil badak ngajak ketemuan?" Tanya ku penasaran.

"Bisa kagak?" Perjelas nya.

"Bisa-bisa, kapan?" Jawab ku sambil terkekeh geli.

"Sekarang, di cafe tuju-tuju gue tunggu!"  Delvin mematikan sambungan nya sepihak.

Karena cuaca di sore hari yang dingin, aku mengenakan jaket army warna coklat muda yang di padukan dengan celana kulot jeans.
Selepas berpamitan, aku bergegas melenggang menuju cafe 77. Perjalanan sore seorang diri ini sangat aku nikmati. Hingga tiba-tiba di tengah perjalanan, motor ku berhenti mendadak.

"Yah, ini motor kenapa? Bensin nya aja full, nggak biasa nya mogok." Gerutu ku kesal.

"Masa gue dorong sih."  Gerutu ku lagi semakin kesal lantaran motor nya tidak menyala.

"Ngak ada bengkel lagi." Ujar ku masih kesal sembari menengok ke kanan-kiri mencari bantuan.

Sial nya, tak ada seorang pun yang melintas. Yang berkehendak suka rela menolong gadis seperti ku. Mungkin ini pertanda, aku tak boleh berharap lebih mendapat pertolongan dari seseorang. Terpaksa aku mendorong motor tersebut,  sejauh ini aku sama sekali belum menemukan satu pun bengkel. Karena lelah, aku duduk di trotoar. Menatap orang berlalu lalang tanpa beban.

"Hadeh, capek banget ya."  Monolog ku memangku dagu dengan kedua tangan yang berpangku pada kedua lutut.

Kedatangan Delvin membuat ku terkesiap, tanpa ba-bi-bu ia duduk di samping ku. Sesekali melirik motor malang  yang ku parkir tepat di depan ku.

"Ternyata lo di sini, gue tunggu nggak dateng-dateng."  Omel nya memberikan sebotol minuman dingin.

Aku meneguk botol minuman tersebut hingga tandas.

"Heh pantat kuda, minuman gue kok lo habisin sih."  Ujar Delvin menarik kembali botol yang kosong.

"Lo ngasih gue minum nggak ikhlas ya."  Sarkas ku mendelik kesal.

Delvin diam saja, lalu ia melempar botol tersebut ke dalam tong sampah.

"Vin bantuin gue, motor gue nggak nyala."  Mohon ku dengan tatapan berharap mendapat persetujuan.

Dua cangkir, dua rasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang