Akibat kejadian tiga hari yang lalu, di mana Rion menyatakan perasaan nya padaku. Aku tak belum menjawab, ralat aku tidak ingin menjawab nya. Jujur saja, Reli masih menempati posisi pertama di singgasana hati ku. Dengan mencoba bersama Rion aku bisa melupakan Reli, tapi niat itu ku urungkan. Karena dengan aku mengiyakan pada Rion, sama saja aku seperti menjadi kan nya tempat pelampiasan.
Aku tak ingin di sebut sebagai seorang penjahat, karena aku tahu. Tak baik bagi ku untuk memaksakan kehendak hati ku. Tak mungkin pula aku bersama Rion tetapi hati ku masih bersama Reli, dan di posisi itu. Aku selalu merasa menjadi seseorang yang sama sekali tak bisa menghargai perasaan. Aku tak ingin menjadi seperti Reli.
Alangkah baik nya, aku menjauhi Rion. Mungkin itu yang terbaik, karena di situ aku paham betul perasaan Nesya. Aku hanya takut jika Nesya menaruh rasa kepada Rion. Ah, tiba-tiba aku teringat seseorang. Yang tak lain adalah Reli. Apa mungkin ini salah satu alasan Reli menjauhiku. Sama seperti aku yang berusaha menjauhi Rion.
Dengan di temani Nesya, kami berdua pergi ke rumah Rion. Tujuan kami pun berbeda, aku yang mengembalikan Hoodie nya, dan Nesya yang memiliki urusan dengan nya. Nesya memencet bel, dan akhir nya pintu utama rumah minimalis itu terbuka lebar. Menampakkan Rion dengan penampilan yang acak-acakan.
"Masuk!" Ajak Rion mempersilahkan kami berdua masuk ke dalam rumah nya.
Setelah sama-sama duduk di posisi yang nyaman, aku langsung menyerahkan tas kantong yang berisi Hoodie milik Rion.
"Udah gue cuci, bye the way makasih." Pinta ku tersenyum simpul.
Rion juga tersenyum sembari mengangguk.
"Gue pulang duluan, masih banyak urusan." Ujar ku kemudian karena selama beberapa menit terjadi keheningan.
"Hati-hati, jaga diri baik-baik." Rion berujar serius, tak lupa dengan seulas senyum nya.
**
"Lama banget sih lo, mau dandan sampe kayak boneka Barbie, muka lo tetep aja kayak pantat kuda." Omel Delvin jengkel.
Siang ini sepulang sekolah, entah dalam rangka apa. Delvin tiba-tiba mengajak ku keluar, berhubung aku sendiri tidak ada kegiatan. Maka, aku mengiyakan saja.
Aku melirik nya tak suka, "Ya udah nggak usah ngajak gue pergi."
"Cih, ngambek." Ledek Delvin.
"Buruan berangkat, gue udah nggak sabar nih." Ajak ku menarik Delvin paksa, yang di
Tarik hanya diam mengikuti.Ternyata, Delvin mengajak ku ke sebuah warung makan nasi Padang. Siapa yang tak merasa senang, sedari tadi mulut ku terus bergumam. Terpancar kesan kebahagian dari kedua bola mataku. Melihat reaksi ku yang berlebihan, Delvin mengernyit heran.
"Lo kenapa?" Tanya Delvin.
Aku menoleh, "Nggak apa-apa."
Delvin mengangguk, lalu kami berdua berjalan beriringan dan menempati meja yang kosong. Aroma khas dari nasi Padang itu menusuk hidung ku, membuat lidah ku ingin cepat-cepat merasakan menu khas Indonesia itu. Perut ku yang keroncongan karena belum makan siang, mendadak terasa perih dan panas. Cacing-cacing bergulat di lambung ku.
"Lo traktir kan?" Tanya ku pada Delvin, namun di balas gelengan oleh nya.
"Ye, gue kira di traktir." Ucap ku dengan nada kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua cangkir, dua rasa
Teen FictionCerita ini hanya sepenggal kisah cinta putih biru. Sebuah perkenalan dalam kelas, dan waktu yang berjalan. Mendekatkan kita, seolah saling melengkapi. Tak ada kata pisah, cerita demi cerita terajut membentuk kenangan yang tak dapat di gantikan oleh...