Aku menatap Nesya lekat, gadis itu seolah mendengar percakapanku dan Rion. Bola matanya menyiratkan kesedihan, namun ia malah menatapku nanar sembari mengulum senyum tipis. Aku merasa tak enak hati dengannya, tetapi untuk menolak ajakan Rion akupun merasa tak enak hati.
Jadilah sepulang sekolah, aku menunggu Rion yang mengambil motornya di area parkir. Sebelum itu aku sudah menolak Delvin, yang memang mengajakku untuk pulang bersama. Namun, yang membuatku terperangah adalah kehadiran Reli di SMAN 1 Panca.
Tak ada angin tak ada hujan, Reli memberhentikan motor nya di pinggir jalan. Semua pasang mata tertuju ke arahnya, terlebih dengan seragam berbeda yang melekat di tubuhnya. Laki-laki tinggi itu menyampirkan tasnya di pundak, tanpa ragu melangkah menuju gerbang. Aku mematung di tempat, bahkan tak sadar akan kehadiran Rion di sampingku.
"Mau pulang?" Tanya Reli berdiri di hadapanku, kini semua mata menatap kami curiga.
"Iya."
"Sama siapa?"
"Rion."
"Jangan lupa makan!"
"Iya."
"Nih." Reli memberiku segulung kertas, aku menerima dengan ragu.
"Baca pas di rumah." Tukas nya lalu berbalik badan, melangkah kembali menuju motornya.
"Siapa?" Tanya Rion beberapa detik kemudian.
"Reli." Jawabku tanpa menoleh.
"Ya udah, yuk berangkat" Aku mengangguk patuh.
Rion mengajakku ke salah satu toko peralatan alat tulis, ia hendak membeli buku catatan kebutuhan kelas. Biasanya Nesya yang gemar membeli barang kebutuhan kelas, namun karena ada suatu halangan. Terpaksa Nesya meminta Rion menggantikan nya membeli barang-barang yang di butuhkan. Sedari tadi aku terus saja membuntuti Rion, jujur aku tak tahu barang-barang apa saja yang harus beli.
Rion menghentikan langkahnya ketika sampai di rak buku catatan, ia melirikku sebentar. Lalu beralih mengambil salah satu buku catatan berwarna merah muda.
"Bagus nggak?" Tanya Rion sembari membolak-balikkan buku catatan tersebut.
Aku tertawa cekikikan, "Cowo kok suka warna pink sih."
"Kan buat kelas." Perjelas Rion.
Aku memberi usul, "Ya jangan warna pink juga kali, warna hijau tuh bagus."
Rion mengangguk, dan memilih buku catatan hijau tua dengan corak bunga. 30 menit menghabiskan waktu di toko alat tulis, Rion segera menuju kasir untuk membayar. Jangan tanyakan aku yang masih betah berlama-lama di toko alat tulis tersebut, daya tarik ku jauh kala melihat sebuah diary dengan desain yang menarik.
Aku memandang diary tersebut sejenak, ingin membeli tapi aku lupa tak membawa uang lebih. Hangus sudah harapkan untuk memiliki diary secantik itu. Ketika berbalik, Rion sudah berada di belakangku.
Ia menyunggingkan senyum simpul, "Mau itu?"
Aku menggeleng pelan, "Lain kali aja."
"Sekarang juga bisa." Katanya menarik rasa keinginan ku yang besar.
Aku mengiyakan, "Boleh deh, entar uang nya gue ganti."
Rion mengambil diary yang aku tunjuk lalu membawanya ke kasir, sembari menunggu pembayaran aku berdiri di belakangnya. Senyum bahagia tak luput dari bibirku saat ini, agaknya Rion adalah tipe laki-laki yang pengertian. Nesya sungguh beruntung bisa dekat dengan laki-laki sepertinya, tapi mengapa Rion lebih tertarik padaku. Faktanya, Nesya merupakan salah satu perempuan berparas ayu yang menduduki kelasku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua cangkir, dua rasa
Teen FictionCerita ini hanya sepenggal kisah cinta putih biru. Sebuah perkenalan dalam kelas, dan waktu yang berjalan. Mendekatkan kita, seolah saling melengkapi. Tak ada kata pisah, cerita demi cerita terajut membentuk kenangan yang tak dapat di gantikan oleh...