Siang itu, tepatnya pada bel istirahat kedua berbunyi. Aku dan Freya berjalan beriringan menuju kantin. Sebenarnya, Siang ini aku tidak ingin makan apa-apa. Namun, Freya terus memaksaku agar mengantarnya ke kantin.
"Ih tuh kan, rame banget. Males gue." Gerutu ku kesal dan beralih duduk di kursi kosong.
Freya tampak sedang berpikir, "Iya sih, gue juga males ngantri."
"Perpus aja yuk, kan enak tuh ada AC-nya." Ajak ku berusaha menyakinkan.
Akhirnya Freya membalas dengan anggukan.
Kami menelusuri koridor dengan langkah santai, sesekali Freya menyapa teman nya yang tengah duduk di depan kelas. Bahkan Freya juga menyapa beberapa kakak kelas yang sedang berkeliaran di area jejeran kelas VIII.
"Nai, itu Reli bukan sih?" Tanya Freya memastikan sambil menunjuk ke arah Reli yang duduk di anak tangga.
Langsung saja ku tepis tangan nya. "Udah ah biarin."
Berusaha menghindari ocehan Freya yang tidak-tidak, aku langsung menariknya pergi ke arah lain.
"Kok lewat sini, kan enak lewat tangga tadi. Nggak jauh." Omel Freya.
Aku menghela nafas gusar." Di sana kan ada Reli".
"Emang kenapa kalo ada Reli? Gugup? Kapan move on!" Ucap Freya sambil menepuk pundak ku.
"Lo harus berani buktiin kalo lo juga udah lupa total sama Reli, lo juga harus bahagia tanpa dia." Lanjut Freya.
Aku mengangguk pasrah, dan dengan seenaknya Freya menarik pergelangan tangan ku sambil berteriak girang.
Langkah ku sedikit bergetar, dadaku bergemuruh hebat. Rasa tegang membuat kaki ku serasa lemas. Saat kedua kakiku berhasil melewati Reli dan gerombolan nya, aku membuang nafas gusar.
Entah keberanian dari mana, sejenak aku menoleh dan begitu pun dengan Reli yang memperhatikan ku. Sial nya, salah seorang teman sekelas nya mengagetkan Reli hingga ia tersentak.
"Ngagetin aja lu." Gerutu Reli pada teman nya.
Cepat-cepat aku berlalu melangkahkan kaki menjauh. Setelah merasa berada di tempat aman, aku menyandarkan punggung ke dinding. Detak jantung ku berpacu kencang, berkali-kali aku mengelus dada untuk menetralkan detak jantung ku agar sedikit reda.
"Kayak abis ketemu setan aja lo." Ejek Freya yang di susul tawa renyah.
"Gue deg-degan banget Fre." Keluh ku.
Tawa Freya malah semakin kencang, ia tertawa sambil membungkuk. Sampai beberapa siswa-siswi menatap kami berdua dengan tatapan aneh.
"Udah-udah, liat tuh kita di liatin terus." Omel ku yang langsung menarik paksa Freya.
**
"Nanti gue boleh ke rumah lo nggak?" Tanya Freya sibuk mengemasi buku-buku nya yang berserakan.
"Boleh banget, sekalian bawain buku paket bahasa Inggris ya." Pintaku lalu pergi meninggalkan Freya di dalam kelas yang masih sibuk mengemas buku-buku.
Kaki yang mulanya terasa ringan, tiba-tiba menjadi lemas saat bola mataku menangkap sosok Reli yang sedang tertawa renyah bersama teman-temannya sambil berjalan mendahului ku.
"Gue pengen liat lo ketawa karna gue " Batin ku.
Tanpa mempedulikan Reli lagi, aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap melangkah santai. Sialnya, karena kurang fokus kakiku menyandung batu tak bersalah yang terpaku di tengah-tengah keramaian suasana halaman sekolah.
Yang lebih sial lagi, detik-detik kejadian memalukan itu di perhatikan oleh Reli. Tentu aku menyadari, karena setelah bangkit mataku kembali menangkap Reli yang diam terpaku memperhatikan ku dengan tatapan yang tak bisa di artikan.
Beberapa teman-teman Reli yang bergabung juga tak sengaja melihat tragedi memalukan yang menimpaku siang-siang bolong. Bukan nya membantu, mereka malah menertawakan ku habis-habisan.
"KALO JALAN TUH LIAT DEPAN, BUKAN LIAT RELI. LO PIKIR RELI MASA DEPAN LO." Seru Tyan yang dihadiahi tepuk tangan gemuruh dari teman-teman lain nya.
"MATANYA MINUS KALI." Seru Gilang yang juga di hadiahi tepuk tangan dari teman-temannya.
Aku yang di landa malu, dan merasakan nyeri di lutut kanan hanya bisa menunduk tanpa membalas ejekan mereka. Entah panggilan alam atau bagaimana tiba-tiba Freya berlari tergesa-gesa menghampiri ku.
"Kok bisa jatuh sih?"
"Lutut nya luka nggak?"
"Sakit nggak?"
"Tangan lo lecet nggak?"
Pertanyaan bertubi-tubi langsung keluar dari mulut Freya, tampak jelas dari rautnya yang khawatir.
"Udah nggak apa-apa kok." Jawab ku setenang mungkin.
"HEH!" Teriak Freya. Dengan langkah tergesa-gesa. Freya menghampiri gerombolan Reli dan teman-teman nya. Akibat teriakan yang cukup keras itu, mengundang beberapa siswa-siswi untuk menyimak cekcok tersebut.
"KALIAN PIKIR JATUH GITU KAGAK SAKIT? KALIAN PIKIR LUCU? MALAH KETAWA BUKAN NYA BANTUIN. TERUS SEENAKNYA NGEJEK YANG ENGGAK-ENGGAK." Omel Freya dengan nafas yang tak teratur, kali ini ia benar-benar emosi.
Reli berjalan mendekati Freya dengan tampang garang nya, "Salah dia sendiri lah, jalan nggak fokus."
Freya langsung tersulut emosinya. "Harusnya di bantuin, bukan di ketawain. Mana jiwa sosial kalian, manusia apa bukan sih."
Reli tersenyum miring. "Dia yang jatuh kok lo yang marah sih?"
Kali ini Freya juga ikut tersenyum miring. "Karena gue sahabat nya, jelas lah gue nggak terima sahabat gue di gituin. Itu baru sahabat, bukan orang yang dateng pas susahnya doang, giliran seneng malah pergi."
Jika di biarkan cekcok ini tidak akan ada habisnya. Aku menghampiri Freya, berusaha menenangkan nya dengan mengelus pundaknya. "Udah Fre, gue nggak apa-apa kok."
Mataku bergerak tajam menatap Reli, kali ini saja aku tak boleh lemah di hadapan nya. "Buat lo, ajarin ke temen-temen lo itu caranya jadi manusia."
Reli yang mendengar penuturan tajam dari mulutku hanya diam terpaku. Dari rautnya ia seolah kebingungan. Selepas itu aku menarik Freya menjauh menuju pinggir jalan untuk mencarinya posisi yang aman.
Hampir tiga puluh menit menunggu, tak ada tanda-tanda aku di jemput. Freya, jangan tanyakan dia. Sekitar lima menit yang lalu dia sudah di jemput oleh Abang nya. Ku teguk teh botol yang sisa separuh hingga tandas. Sesekali melirik ke kanan-kiri jalan.
"Hai, gue duluan ya." Aku terlonjak kaget, mendapati Reli sudah berdiri di samping ku sambil menebar senyum simpul.
Sebagai jawaban aku hanya mengangguk kaku. Menatap nanar punggung nya yang menjauh, hingga hilang di persimpangan jalan. Kalimat dan suaranya terngiang-ngiang di kepalaku, apa aku bermimpi?
Tidak-tidak, ini bukan mimpi. Kejadian nya, baru saja terjadi. Sekitar satu menit yang lalu. Saking belum percaya sepenuhnya, aku menampar pipi kanan ku sendiri.
"Eh, beneran gue nggak mimpi." Monolog ku tersenyum sumringah.
"Naizila ngapain? Ngomong sama siapa?" Tanya mama yang tiba-tiba sudah berdiri di depan ku dengan tampang kebingungan.
"Udah yuk ma, buruan pulang. Capek tau nungguin mama nggak dateng-dateng." Elak ku memasang wajah sebal.
"Ya maaf, tadi mama belanja dulu." Jawab mama seraya berjalan memasuki mobil.
🔥🔥
Gimana menurut kalian?
Jangan lupa kasih vote dan saran!
See you🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua cangkir, dua rasa
Teen FictionCerita ini hanya sepenggal kisah cinta putih biru. Sebuah perkenalan dalam kelas, dan waktu yang berjalan. Mendekatkan kita, seolah saling melengkapi. Tak ada kata pisah, cerita demi cerita terajut membentuk kenangan yang tak dapat di gantikan oleh...