"Kenapa?"
"Surat itu udah lo baca?" Tanya Reli canggung.
"Belum." Jawabku menggeleng pelan.
"Baca ya, gue pulang. Makasih kopi nya, gue suka." Pinta Reli beranjak dari sofa, di ambang pintu ia berhenti. Menatapku sejenak yang masih setia duduk, lalu melanjutkan langkahnya yang tertunda.
Motor gede dan empunya itu keluar dari halaman rumah, bagai di telan embun dan rintik hujan yang reda. Hilang tanpa arah dan jejak, hanya kenangan singkat yang tersisa. Pak Deden berlari kecil ke arahku selepas menutup pintu gerbang.
"Tidur non, takutnya besok kesiangan!" Perintah beliau ramah.
Aku mengangguk patuh, "Iya Pak Deden juga, jaga kesehatan ya Pak."
Freya bergulat manja di ranjang tidur, sembari memeluk guling. Bahkan selimut tebal warna mocca itu sudah tergeletak sembarang di lantai. Aku memukul bahu nya pelan hingga ia terbangun.
"Ganggu aja sih lo, gue udah nyaman tidur." Decak nya kesal.
"Gue mau tidur." Tukas ku seraya naik ke atas ranjang tidur.
"Gimana? Udah pulang tuh bocah?" Tanya Freya membenarkan selimut.
Aku mengangguk cepat.
"Udah dapet hidayah rupanya." Gumam Freya sinis.
"Hidayah?"
Freya menepuk jidatnya, "Ya kan abis lo omelin."
Aku menghembuskan napas pasrah, "Apaan sih."
**
"PAGI KU CERAH KU, MATAHARI BERSINAR." Pagi-pagi sekali, Freya sudah membuat bising. Ia bernyanyi ria sembari membuka jendela beserta menyingkap gorden.
"Aduh, berisik banget sih lo." Decak ku yang masih terbaring di ranjang tidur.
Freya menarik selimut yang menutupi sebagian tubuhku, "Bangun woy, bangun."
Dengan lemas aku memposisikan diri menjadi duduk, ogah-ogahan aku bangkit dan melangkah gontai menuju kamar mandi. Freya sibuk membereskan ranjang tidur yang berantakan. Sepuluh menit berselang, kini aku sudah siap dengan kostum olahraga. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, pasti akan menyenangkan jika menghabiskan waktu berdua seharian bersama sahabat.
Selesai bergulat di dalam kamar, kini aku dan Freya berada di ruang makan. Di depan kami sudah tersedia beberapa menu yang menggiurkan.
"Di makan non cantik." Tukas Bi Mimin ramah.
"Iya Bi, makasih." Jawab Freya tersenyum simpul.
"Eh, Bi Mimin hari ini belanja nggak?" Tanya ku menoleh pada beliau.
Bi Mimin mengangguk antusias, "Iya non, bahan masakan udah mau abis."
"Ada uang nggak?" Tanya ku lagi.
"Uang kemarin masih ada kok non." Jawab Bi Mimin melenggang pergi.
Freya menepuk bahu ku pelan, "Wih temen gue tajir juga."
"Bukan gue yang tajir, tapi orang tua gue." Balas ku sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut.
Acara sarapan yang menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit itu telah usai, saat ini aku dan Freya berada di sebuah taman kota. Letaknya tak jauh dari kediamanku. Banyak para muda-mudi, anak-anak, orang dewasa, bahkan lansia yang melakukan olahraga di taman kota ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua cangkir, dua rasa
Teen FictionCerita ini hanya sepenggal kisah cinta putih biru. Sebuah perkenalan dalam kelas, dan waktu yang berjalan. Mendekatkan kita, seolah saling melengkapi. Tak ada kata pisah, cerita demi cerita terajut membentuk kenangan yang tak dapat di gantikan oleh...