Apa aku harus menyerah?

11 2 1
                                    

Genap seminggu, Dinar masih setia dengan koma nya. Setiap pulang sekolah, aku dan Freya selalu menyempatkan waktu untuk menjenguk nya. Itu pun kami berdua harus diam-diam, agar tak ada siapa pun yang tahu. Dinar sudah di pindahkan ke ruang rawat sejak dua hari yang lalu.

Siang ini berbeda, niat ku menjenguk Dinar malah di suguhi sebuah pemandangan. Reli tengah duduk di samping brankar, tempat di mana Dinar terbujur lemas. Reli tengah mencium punggung tangan Dinar, terlihat tulus dan penuh sayang. Aku hanya tersenyum tipis dan berbalik. Lebih baik aku menghabiskan waktu ke kantin sampai Reli pergi.

Niat ku ingin menyerah, namun hati terus menolak. Menyuruhku untuk terus bertahan pada perasaan yang tak akan pernah terbalas

Minuman dingin dan beberapa camilan menjadi pelengkap rasa jenuh dalam kesendirian ku. Hari ini Freya tidak bisa ikut lantaran ingin menghabiskan waktu dengan Alfa. Sebenarnya sendiri aku juga tidak keberatan, tapi paling tidak jika aku bersama Freya. Tak ada keheningan seperti ini, masih ada teman berbincang yang sedikit menghibur.

Merasa sudah lama menunggu, aku segera beranjak dari kantin RS. Ada perasaan senang ketika melihat Dinar bangun dari koma nya, namun ada sesak yang membusung di hati ketika melihat Reli dengan tulus menyuapi gadis itu. Sebisa mungkin aku tersenyum, namun berlama-lama melihat pemandangan itu hanya akan terus menyakiti ku.

Pulang adalah putusan terbaik saat ini, jalanan yang ramai dan padat terasa kosong dan hampa bagi ku. Rasa sakit dan sesak itu seolah menyayat hatiku yang rapuh. Berkali-kali supir taxi tersebut menegurku karena aku melamun. Sebenarnya aku tidak melamun, aku hanya sedang berkelana dalam kepalaku. Membenahi letak hatiku, dan menyusun nya kembali. Rumah bukan tempat berpulang yang tepat untuk saat ini, dan keluarga kecil ku bukan tempat pengadu yang tepat untuk saat ini.

"Dari mana aja Nai?" Tanya Mama.

"Dari RS Maharaja." Jawab ku seraya menundukkan kepala.

"Sampai kapan kamu mempermalukan keluarga kita?" Tanya Papa terdengar sinis.

"Bukan salah aku Pa, Dinar dulu yang mau bunuh Naizila." Jawab ku mulai jengah.

Selepas itu hening, aku mendengus kesal seraya berjalan menaiki anak tangga menuju kamar. Saat ini, kamar yang hening akan menjadi teman setia ku. Satu-satunya ruangan yang dengan senang hati, bersedia menjadi wadah tangis dan sesak ku.


Ada candu ketika melihat senyum dan tawa mu, namun itu semua terasa semu. Saat aku tau, senyum dan tawa itu timbul karenanya


Senja sore itu seolah membawa kepedihan melalui angin nya yang sepoi-sepoi. Secuil harapan yang dulu sempat aku banggakan, kini hanya tersisa butiran yang tak mungkin untuk kembali di susun. Matahari dan langit jingga, berpadu menjadi satu kesatuan yang pas. Namun, keindahan itu hanya datang sesaat. Dan terganti oleh bulan serta pekatnya langit malam.

Seperti kebahagiaan yang sempat berlabuh, kini berganti dengan derita yang suram. Asa terus menggelayuti detik waktu antara senja dan malam, rasa ingin lenyap dari bumi begitu besar. Tetapi aku percaya, akan ada masa nya aku berjaya. Kebenaran itu pasti akan terungkap. Cepat atau lambat, dunia akan kembali memihak ku.


**

Netra mataku menelisik setiap sudut kantin, dan akhirnya aku menemukan sosok yang aku cari-cari. Tanpa berbasa-basi, aku berjalan dengan langkah getir. Takut, sang empu akan mengusirku atau malah mengacuhkan ku.

Dua cangkir, dua rasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang