Aku tersenyum sumringah, dan berlari kecil menghampiri nya. Hal yang ku tunggu-tunggu selama ini akhirnya terkuak. Beribu syukur ku ucap dari batin.
"Lo percaya sama gue kan?" Tanya ku memastikan.
Delvin melangkah mundur, "Maksud gue, gue minta maaf kemaren udah ninggalin lo di rumah sakit."
Ternyata, jawaban itu tak sesuai harapan ku. Aku kira semua nya sudah terkuak, ternyata salah. Salah besar! Ini semua belum berakhir. Aku sama sekali tak mengharapkan kata 'maaf' dari mulut Delvin karena perihal kemarin.
"Gue anter mau?" Tawar Delvin yang aku balas dengan anggukan.
Kami melesat menembus terpaan angin yang cukup kencang, tak seperti hari-hari biasanya. Melesat, di jalanan yang padat. Hati ku mendesir, saat hidung ku mencium bau khas dari rambut Delvin. Diam-diam, bibir ku mengulum senyum.
Perjalanan kami tak sampai di situ, Delvin berbelok mengambil jalur singkat yang melewati jalanan sepi yang kanan-kiri nya terdapat kebun jeruk yang membentang luas. Sebuah motor hitam legam agaknya mengikuti kami berdua. Sesekali aku menoleh ke belakang.
"Vin, itu motor di belakang kayak ngikutin kita ya." Adu ku khawatir, menggigit bibir bawah ku.
Delvin tak menjawab, namun ia melirik pengendara di belakang melalui kaca spion nya. Tiba-tiba, motor hitam legam itu melaju cepat dan menghadang laju motor yang aku dan Delvin tumpangi. Delvin mengerem mendadak hingga badan ku terhuyung ke punggung nya.
Delvin segera melepas helm, di susul aku yang bergegas turun selepas mendapat instruksi dari nya. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui, jika sang empu yang mengikuti kami adalah Reli. Raut nya beringas, seolah siap menerkam siapa pun yang berani mengusik nya.
"APA MAU LO?" Tanya Delvin yang sama-sama memasang raut garang.
"PERGI DARI KEHIDUPAN DINAR, DIA NGGAK BUTUH COWOK BRENGSEK KAYAK LO." Tegas Reli, urat-urat di leher nya mulai timbul.
Aku bergidik ngeri, membayangkan sebentar lagi mereka pasti akan adu jotos. Jalanan yang sepi dan lenggang, memudahkan mereka untuk meneriakkan emosi yang membara.
"Maksud lo apa?" Tanya Delvin, nada nya mulai rendah.
"Sekarang pilih, Dinar atau Naizila!" Tukas Reli yang merendahkan suara nya.
"Gue pilih Dinar, gimana?" Jawab Delvin tersenyum miring.
Aku terbelalak, mata ku membulat tak percaya. Reli memejamkan mata, lalu beberapa detik kemudian tercetak senyum miring di bibir nya.
"Gue tantang, entar malem jam sepuluh. Kita balapan di jalan ini." Pinta Reli.
"Kalo lo kalah, artinya lo dapet Dinar, tapi Naizila terbukti bersalah dan harus dapet hukuman." Jelas reli menggantung kalimat nya.
"Tapi kalo lo menang, Dinar milik gue. Dan Naizila terbukti nggak bersalah." Lanjut Reli masih tersenyum miring.
Ia berbalik dan memasang helm nya. Dan melesat pergi meninggalkan Delvin yang masih terpaku di tengah jalan. Aku melangkah hati-hati, menepuk bahu nya pelan membuat sang empu menoleh.
"Lo terima tantangan itu?" Tanya ku, raut khawatir tak lepas dari wajah ku.
Delvin mengangguk pelan, "Nggak usah khawatir Nai, mau gue menang atau kalah. Gue pastiin semua nya bakal baik-baik aja."
**
Aku di landa gelisah, sedari tadi mondar-mandir di dalam kamar. Jarum jam hampir menunjuk angka 10. Tidak mungkin, aku di perbolehkan keluar malam-malam begini. Tak ada waktu lagi, Hoodie putih membaluti tubuh ku yang mula nya hanya memakai pakaian piyama panjang. Tak lupa menyambar ponsel yang tergeletak di meja belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua cangkir, dua rasa
Teen FictionCerita ini hanya sepenggal kisah cinta putih biru. Sebuah perkenalan dalam kelas, dan waktu yang berjalan. Mendekatkan kita, seolah saling melengkapi. Tak ada kata pisah, cerita demi cerita terajut membentuk kenangan yang tak dapat di gantikan oleh...