"Ada yang kurang nggak?" Tanya ku memastikan.
Bi Mimin menoleh ke arah ku sambil menggeleng pelan, "Nggak ada non."
Malam ini, aku dan Bi Mimin pergi keluar. Untuk membeli kebutuhan bulanan yang belum terpenuhi, sengaja aku mengajak Bi Mimin belanja di pusat perbelanjaan. Tak apa, hitung-hitung refreshing. Lagipula di sini tak ada yang di rugikan, malah aku dan Bi Mimin merasa terhibur dengan mengunjungi pusat perbelanjaan.
"Ya udah, langsung pulang aja yuk." Ajak ku pada Bi Mimin, namun terlintas sebuah ide di pikiran ku.
"Oh iya, nanti kita beli bakso ya, di bungkus aja sekalian buat Pak Deden." Tukas ku pada wanita paruh baya tersebut.
"Emang nggak apa-apa non, nanti kalo uang bulanan nya abis gimana. Bapak sama Ibu bisa marah." Balas Bi Mimin dengan nada khawatir.
Aku berujar santai, "Nggak bakal Bi, udah tenang aja. Kalo Papa sama Mama marah, itu urusan Naizila."
Akhirnya Bi Mimin menganggukkan kepala nya patuh, sejenak beliau menggeleng. Mungkin merasa sedikit jengah menghadapi sikap ku yang keras kepala. Apa pun yang sudah menjadi keputusan ku, tak boleh di ganggu gugat. Kami berjalan beriringan, kedua tangan kami sama-sama menenteng tas plastik besar.
Seperti permintaan ku tadi, sekarang aku dan Bi Mimin melipir ke salah satu warung bakso. Karena antrian yang panjang, terpaksa aku dan Bi Mimin duduk berleha di bangku panjang yang sudah tersedia.
"Aduh, antrian nya panjang banget sih." Gerutu ku kesal menyenderkan kepalaku ke dinding bercat hijau tersebut.
"Sabar non." Sahut Bi Mimin.
"Mending dengerin Bibi nyanyi, mau?" Lanjut Bi Mimin tersenyum memohon.
Aku meringis, "Nggak usah deh Bi, makasih."
"Kenapa non?" Tanya Bi Mimin.
"Nggak apa-apa kok Bi Mimin." Jawab ku cengengesan.
"Karena suara Bi Mimin jelek ya, berisik?" Ujar Bi Mimin dengan raut kecewa.
"Bagus kok Bi Mimin cantik, cuman sekarang kan lagi di tempat umum." Kataku menenangkan Bi Mimin.
Awal nya Bi Mimin tersenyum kecut, namun setelah mendengar penuturan ku beliau tersenyum sumringah.
Selama menunggu, aku menyibukkan diri dengan memainkan ponsel. Merasa ada seseorang yang duduk di samping kanan ku, aku refleks menoleh. Kedua bola mata ku membulat ketika melihat seorang dengan Hoodie hitam, tak lupa dengan corak abstrak biru-putih di bagian dada nya. Aku terhenyak, secara refleks memeluk Bi Mimin. Bi Mimin langsung menoleh ketika sesaat mendapat pelukan tiba-tiba dariku.
"Kenapa non?"
"Ada...itu ada...Itu loh, orang. Pake hoodie hitam." Ucap ku terbata-bata.
"Nggak ada non." Jawab Bi Mimin mengernyit heran.
Aku kembali menoleh ke samping kanan, dan tak mendapati siapa pun. Termasuk seseorang Hoodie hitam tersebut, ajaib! Seperti sihir, seseorang Hoodie hitam itu hilang dalam hitungan detik. Ke mana rimba nya? Apa ini hanya halusinasi ku semata? Jelas-jelas, tadi aku melihat nya. Dengan dua bola mata ku, secara langsung.
**
Tak banyak yang aku tahu tentang Reli, seberapa lama pun kami tak pernah bertemu. Tetapi diri nya, seolah mengikuti langkah hidup ku. Ke mana pun aku pergi, dan di mana pun aku berada, bayang Reli mengikuti setiap pijakan ku pada tanah satu ke tanah lain.
Keadaan nya berubah, benar-benar berubah. Tetapi perasaan ini masih sama, semakin aku tidak peduli. Maka semakin gencar bayang Reli menghantui pikiran ku. Kadang kala aku bingung, harus bersikap bagaimana. Keadaan ini, sulit bagi ku untuk hidup tanpa beban perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua cangkir, dua rasa
Teen FictionCerita ini hanya sepenggal kisah cinta putih biru. Sebuah perkenalan dalam kelas, dan waktu yang berjalan. Mendekatkan kita, seolah saling melengkapi. Tak ada kata pisah, cerita demi cerita terajut membentuk kenangan yang tak dapat di gantikan oleh...