Satu yang usai

5 1 0
                                    

Suatu sore, di temani secangkir teh hangat. Aku menikmati keindahan senja di tengah-tengah kota. Duduk termenung di kursi balkon, sesekali angin melintas menerbangkan anak-anak rambut ku. Burung-burung kembali ke peraduan nya, berkicau sana sini, dan terbang bersama membentuk gerombolan. Kepakan sayap nya yang bersamaan, seolah tengah menari di langit, meliukkan tubuh nya dengan gerakan senada.

Bertepatan dengan itu, Mama datang dengan seulas senyum yang akhir-akhir ini tak pernah lagi aku lihat. Dan sore ini, adalah senyum manis dengan raut bahagia. Mama duduk di samping ku, ia membelai lembut rambut ku yang sedikit kusut.

"Maafin Papa sama Mama ya Nai." Ucap Mama terdengar tulus.

"Maksud Mama?" Tanya ku, jujur saja aku masih belum paham dengan arah pembicaraan beliau.

"Reli temen kamu kan?" Tanya Mama.

Aku mengangguk antusias.

"Reli bilang, kamu bukan penyebab Dinar koma." Ujar Mama masih senantiasa tersenyum.

Bagai di beri uang segepok, aku sangat lega. Akhirnya, semua ini terungkap. Tak perlu menangisi hal terlalu lama, dan aku percaya. Rencana Tuhan itu indah, sungguh aku tak mengira masalah ini hanya gerimis dan petir yang menyambar sekilas. Waktu berputar begitu cepat, semua nya selesai hanya dalam sekali membalikan telapak tangan.

Aku hanya sedikit heran saja, mudah sekali mereka dalam mengucapkan maaf. Sebenarnya, bagaimana pola pikir mereka? Atas perbuatan mereka, sikap mereka, dan semua hal buruk dari mereka yang telah aku terima. Apakah mereka tidak tahu, mereka tidak peduli dengan perasaan ku. Hanya saja, aku tidak ingin di pandang sebagai gadis malang yang hidup dalam masa-masa sedih.

"Maaf, Papa belum bisa minta maaf sama kamu. Karena sekarang Papa keluar kota."  Ujar Mama lirih, beliau menundukkan kepalanya.

Tak biasanya Mama seperti ini, meskipun dalam keadaan pelik pun. Tak pernah Mama menampakkan sisi menyedihkan nya di hadapan ku. Beliau yang aku kenal, wanita tegar yang berwibawa dan lemah lembut.

Aku hanya memberikan seulas senyum tipis, "Nggak apa-apa kok Ma, mau Papa sama Mama nggak minta maaf pun...Naizila nggak pernah benci sama kalian."

Mama tersenyum haru, mata nya berkaca-kaca. Bahkan Mama sampai menyipitkan matanya agar air mata itu tidak tumbang. Dan beberapa detik kemudian, Mama memeluk ku erat. Aku membalas dengan senang hati. Begitu hangat dan nyaman.

"Mama mau nyusul Papa keluar kota."  Tukas nya seraya mengendurkan pelukan tersebut.

"Mama sama Papa, mau ke London. Kamu mau ikut, atau tetep tinggal di sini?"  Lanjut Mama, air bening dari mata beliau meluncur deras.

Aku menimang-nimang pertanyaan Mama, jika aku ke sana. Aku harus beradaptasi lagi, dan di London tentu nya aku harus bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Terlebih, jika aku pindah. Aku tak akan bisa melihat bagaimana Reli. Walau hati ini terus tergores, percayalah. Aku tetap ingin di sini, memantau nya dari jauh.

**

Aku menghela nafas gusar, kepalaku pening bukan main. Menghafalkan rumus yang berbelit-belit. Waktu istirahat pertama, ku habiskan dengan terus memahami rumus-rumus tersebut. Sampai aku lancar dalam mengerjakan, dan hafal tentu nya.

Beberapa menit kemudian, Freya dan Alfa datang. Kedua tangan mereka sama-sama membawa beberapa minuman dan jajanan yang berbau pedas. Freya duduk di bangku nya yang berada tepat di samping ku, sedangkan Alfa mengambil alih bangku lain yang kosong tak di huni.

"Minta maaf sama Naizila!" Perintah Freya tegas kepada Alfa.

Alfa tersenyum kikuk, ia beralih menatap ku dalam-dalam, "Maaf Nai, gue udah nuduh lo."

Dua cangkir, dua rasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang