bagian 23

4.7K 380 55
                                    

🌾Selamat membaca

Rafdan tertegun mendengar penjelasan sang adik yang ingin kembali ke ibunya. Bintang juga menatap sendu ke arahnya, ntah apa yang membuat adiknya itu goyah akan pendirian yang sudah bulat pada awalnya.

Rafdan yang pastinya tak menerima keputusan itu menghela nafas beratnya. Rafdan kemudian duduk disamping adiknya itu. Ia tak melakukan atau berucap apapun. Mungkin ini keputusan yang baik untuk keduanya.

"Selalu aja ada masalah kalo kita bareng. Dan gua ngga mau aja itu makin parah." Ujar Bintang lagi dengan nada yang sangat berbeda dengan Bintang biasanya yang begitu ceria dan semangat.

Rafdan belum kunjung juga menjawab ujaran Bintang barusan. Ia hanya ingin mencoba mendengar keluh kesal anak itu, dan mencoba untuk tak perduli. Tapi untuk saat ini ia buang egonya jauh-jauh. Ia tak tahu saja seperti apa kehidupannya nanti tanpa Bintang, hari-hari yang ia lalui nanti tanpa sang adik, berat pastinya.

Lelaki itu kemudian bersimpuh di depan Bintang. Menatap mata adiknya yang sudah memerah itu. Rafdan tetap menampilkan raut dingin di wajahnya, tapi tidak hatinya. Bintang yang melihat itupun lantas bingung dengan apa yang kakaknya perbuat sekarang.

"Liat gua! LIAT GUA BANGS*T!" Bentak Rafdan sambil mencengkram kedua bahu Bintang dengan tangannya.

"Satu hal yang harus lo ingat, Bin. Gua ngekang lo dari mama, ngelarang lo deket sama dia karena gua ngga mau lo patah untuk kesekian kalinya." Bintang dibuat terdiam dengan kata yang sangat teramat jarang ia dengar dari mulut sang kakak. Dan tanpa sadar sang manik sudah mengeluarkan air jernihnya.

"Cukup dengan dia ninggalin kita dulu udah buat hati gua sakit dan itu ngga hilang sampai sekarang. Gua ngga mau lo juga ngerasain ini." Ujar Rafdan lagi dengan nada datarnya. Sedangkan Bintang, menetes sudah semua air mata yang coba ia tahan itu.

Bintang menundukkan kepalanya, membuang mukanya dari sang kakak yang masih ada dihadapannya tersebut. Ia hanya tak mau dinilai lemah akan hal ini.

Tapi sepersekian detik selanjutnya, Rafdan kembali membuatnya lemah. Sang kakak membawa kepala Bintang yang tertunduk tadi ke dadanya. Sebagai seorang kakak sudah pasti Rafdan tahu bahwa adiknya sedang membutuhkan bahu untuk bersandar saat ini.

"Hiks... Hiks.." Isakan itu terdengar jelas. Menyakitkan memang untuk di dengar, tapi akan ada kelegaan setelahnya.

"Keluarin aja semuanya, lo capekkan?" Rafdan menepuk pelan punggung Bintang agar anak itu sedikit tenang. Tapi isak tangis Bintang masih terdengar. Bahkan anak itu memukul dadanya sangking sesak dadanya yang ia rasakan.

"Keluarin! Lepasin semua yang lo tahan selama ini!"

"Gua ngga tau ini takdir tuhan atau apa... Hiks.. Tapi kenapa setiap satu masalah udah selesai... Selalu ada masalah baru yang lebih pelik... Yang gua ngga yakin gua bisa nyelesainnya apa ngga." Ungkapnya.

"Lo bisa. Buktinya lo bisa nyelesain masalah yang dulu." Jawab Rafdan pula setelahnya.

Setelah dirasa sudah jauh lebih tenang, pelukan itu Bintang lepaskan. Ia hapus juga beberapa air mata yang masih menetes. Lega rasanya bila semua yang ia tahan dan tutupi selama ini bisa keluar sekarang. Meski beberapa kali sesak itu masih menggerogoti dadanya. Bintang juga masih tampak memejamkan matanya. Air mata itu ntah mengapa tak bisa berhenti jua.

"Dasar cengeng." Ujar Rafdan sambil menyeka air mata sang adik dengan sedikit kasar. Mau bagaimanapun Rafdan tetaplah Rafdan.

"Lo masih sesak?" Tanya Rafdan dengan nada yang lebih lembut sedikit. Bintang menggelengkan kepalanya setelah itu.

B I N T A N G Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang