° BKK 23

166 32 0
                                    

B i s m i l l a h

Berikan dia kebahagiaan. Dia juga berhak bahagia.

°°°

Rasanya Nanta ingin memekik saat itu juga. Binaran matanya terpancar sangat bahagia. Hatinya berbunga-bunga.

"Mama! Papa!"

Seperti anak kecil yang senang mendapatkan es krim, Nanta masuk ke dalam rumahnya dengan berlari. Menghampiri kedua orang tuanya yang saat ini sedang berada diruang keluarga.

Nanta memeluk erat Mamanya. "Mama, Nanta kangen. Mama lama banget kerjanya. Mama udah lupa ya sama Nanta?" Tak lama Nanta beralih pada Papanya. "Papa juga sama kayak Mama. Sibuk terus kayak Mama. Nanta suka kesepian."

Ayu Permata---Mama Nanta terkekeh pelan. "Maafin Mama sama Papa ya, Nta. Kita berdua kerja juga untuk kamu. Untuk biaya sekolah dan hidup kamu."

"Betul apa yang dikatakan Mama kamu, Nanta." Miftah Junaidi---Papa Nanta menyahut. "Apa yang kami lakukan sekarang itu karena kamu. Semuanya demi kamu."

Wajah Nanta datar. Begitulah orang tuanya. Mereka akan terus membela diri mereka masing-masing. Tak mau disalahkan walau keadaan merekalah yang salah.

"Apa harus kalian berdua seperti itu? Kenapa ngga salah satunya aja? Mama. Kenapa Mama ngga mau di rumah? Mama bisa buka usaha deket-deket sini yang ngga makan waktu lama untuk keluar rumah. Dan Papa. Papa bisa selalu nyempetin waktu pulang untuk Nanta. Anak kalian itu cuma satu. Kalau anak kalian ini kenapa-napa pas kalian jauh, apa yang harus kalian lakukan?"

Penuturan Nanta membuat keduanya terdiam. Mereka berdua memang salah. Tapi selalu membela diri. Bahkan mereka lupa jika anaknya bukanlah anak kecil lagi. Anaknya sudah mengerti untuk menuntut keadilan itu.

"Kenapa diem? Kalian ngga bisa jawab karena apa yang Nanta omongin emang bener, kan? Mama dan Papa adalah satu paket komplit yang lebih mementingkan uang. Prioritas kalian itu uang. Kalian lupa jika kalian punya anak yang perlu kalian perhatikan. Kalian berdua lupa itu. Yang kalian ingat uang, uang dan uang. Kalian mengumpulkan uang sampai bernominal berapa, sih?" Air mata yang sejak tadi Nanta tahan akhirnya keluar juga. Sangat sulit dia menahan bendungan itu. "Nanta capek Ma, Pa," lirihnya sangat pelan.

Ayu mengangkat kepala. Dia meringis melihat anaknya yang lagi-lagi menangis karena menuntut keadilan. Keadilan hidup yang selama ini tak pernah dia dan suaminya lakukan.

"Nta, Mama sama Papa bisa jelasin ini se- ..."

"Nanta ngga perlu denger penjelasan kalian. Yang Nanta perlu cuma bukti," cegah Nanta cepat dan menghapus air matanya kasar. "Nanta bukan anak kecil lagi yang harus dengerin semua omongan dan janji kalian."

"Nanta, tolong mengerti keadaan Mama dan Papa kamu ini. Kami disini han- ..."

"Iya, Nanta selalu ngertiin Mama sama Papa kok selama ini." Lagi-lagi Nanta memotong ucapan Papanya cepat. Dia menganggukkan kepala dengan air mata yang sudah sangat membanjiri wajahnya. "Dari dulu. Dari Nanta kecil. Nanta selalu ngerti kenapa Mama sama Papa yang ngga pernah pulang. Kalau pun pulang paling cuma ambil berkas-berkas yang ketinggalan atau paspor. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun berada di Negri orang karena mengejar uang. Lagi-lagi uang. Bahkan kalian tidak menjadi saksi bagaimana pertumbuhan anak kalian sendiri. Anak kalian ini tumbuh dewasa dengan keadaan yang terus memaksa dirinya. Ketika anak-anak lain tumbuh didampingi kedua orang tuanya, Nanta ngga, Ma, Pa."

Benar Kata Kakek [t a m a t]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang