Perdebatan

108 102 29
                                    

Di tengah perjalanan, kepalaku sepertinya sangat sakit dan tak sanggup untuk melanjutkan langkah kakiku lagi. Aku segera berhenti sejenak di koridor dan duduk di sana seraya memegangi kepalaku.

"Ya Allah, aku sudah tidak sanggup untuk berjalan. Aku ingin sampai di rumah untuk segera membaringkan badanku. Sembuhkanlah penyakitku ini ya Allah," ucapku seraya berdo'a.

"Aamiin" ujar seseorang dari belakangku, aku membalikkan badanku ternyata ustaz Amar.

"Ustaz," sahutku tersenyum.

"Sini ustaz antar pulang ke rumah," tawar ustadz Amar.

"Emang ustadz bisa gendong Alma sampai ke rumah?" tanyaku berpura-pura ragu.

"Ya elah, kamu kira ustaz ini nggak bisa mengangkut badan sekecil kamu? Ohh sorry... Ustadz juga kuat dong," jawab ustadz Amar sok cool.

"Hehe ya udah deh," ucapku terkekeh.

Ustaz Amar pun membawaku kembali ke rumah, seraya bertanya-tanya padanya.

"Ustaz," panggilku.

"Um," jawabnya seraya menggendongku.

"Kok ayah ibuku sepertinya tidak ada yang menyayangiku?" tanyaku.

"Mereka menyayangimu tapi tidak dengan memperlihatkannya." jawabnya.

"Tapi kenapa mereka harus tidak memperlihatkannya? Aku sudah lelah ustaz," ucapku.

"Sabarlah nak, Insya Allah kedua orang tuamu akan memperlihatkannya. Mungkin tidak langsung sepenuhnya, perlahan tapi pasti." jelasnya, kubalas dengan anggukan tanda mengerti.

Ternyata aku sudah ada di depan rumah, ustadz Amar menggendongku sampai ke depan pintu. Ayah sedang ada di depan rumah membaca koran dengan segelas kopi, sedangkan ibuku sedang berada di dalam rumah menonton sinetronya seraya mengemil cemilannya.

"Assalamualaikum," salam ustaz Amar.

"Kenapa dia?" tanya ayahku tanpa menjawab salamnya, sedangkan ustaz Amar hanya bisa menggeleng.

"Wa'alaikumussalam, " aku menjawab salam ustadz Amar.

"Dia sakit. Aku mendapatkan dia sudah keadaan terduduk di pinggir jalan." jawab ustadz Amar pada ayahku.

"Ohh turunkan saja, dia sangat merepotkan semua orang." ucap ayahku santai sembari meminum segelas kopinya.

"Dia sama sekali tidak merepotkanku, jika kamu sakit anakmu begitu peduli padamu supaya cepat sembuh. Namun Apa yang kamu lakukan jika dia sakit, menyuruhnya pergi sendirian dengan keadaan seperti ini, harusnya kamu yang merawatnya jika sakit. Namun kamu sepertinya tak mempunyai perasaan sama sekali terhadap anakmu." sahut ustadz Amar berusaha memperingati ayahku.

"Ustadz turunkan saja aku!" pintaku. Ustadz pun menurunkanku, aku memilih untuk masuk ke kamar saja. Aku tidak akan mungkin ikut campur dengan urusan orang tua.

"Tidak usah banyak bicara kamu, ini bukan urusanmu. Dia anakku! Aku berhak berbuat apa saja padanya!" ketus ayahku menatap tidak suka pada ustadz Amar.

"Dia memang bukan anakku, aku tidak berhak melarangmu untuk berbuat apa saja pada anakmu." ucap ustadz Amar.

"Nah itu kamu tahu, sekarang pergi dari sini!" pinta ayahku .

"Anda mengusir saya? Baik saya akan pergi, tapi ingat pesan saya baik-baik. Jangan menyesal jika anakmu tiada di duniamu, kamu beruntung mempunyai anak seperti Alma. Namun apa yang kamu perbuat, menyianyiakannya seperti ini. Di mana letak kasih sayang seorang ayah pada anaknya?" ucap ustadz Amar lembut namun dapat mengiris hati, ayahku hanya tersenyum kecut.

"Sepertinya ini sudah sangat jelas bagi anda, ingat saja pesan saya. Sayangi Alma! Dia sangat butuh kasih sayang dari kedua orang tua." tambah ustadz Amar.

"Assalamualaikum." lanjutnya kemudian pergi dari rumahku.

"Siapa Yah? Ibu dengar ada yang ribut-ribut?" tanya ibuku yang baru saja keluar dari rumah.

"Biasa... orang-orang yang suka ceramah." jawab ayahku santai.

"Ohh, Alma tampaknya sangat lemas Yah, coba cek demamnya deh." ucap ibuku seraya duduk di samping ayahku.

"Kenapa bukan ibu?" tanya ayahku.

"Hm ayah emang malas, di suruh ngecek anak sakit aja bertanya-tanya." pekik ibuku sambil menghembuskan nafas kemudian masuk ke dalam kamarku.

Di sana aku sudah terbaring lemah, tak henti-hentinya terbatuk keras. Ibuku memasuki kamarku dan langsung memegangi jidatku.

"Panasmu tinggi sekali, kamu juga tak henti-hentinya terbatuk keras." ucap ibuku, aku hanya tertidur dengan menggigil.

"Ayah.... ayah..." panggil ibuku.

"Ada apa sih teriak-teriak?" tanya ayahku sudah berada di ambang pintu.

"Badan Alma panas sekali yah, kita harus membawanya ke rumah sakit." jawab ibuku.

"Ternyata benar kata ustadz Amar, mereka menyayangiku namun tidak dengan menampakkannya." batinku, aku memang terlihat tertidur namun sebenarnya aku masih mendengarnya.

"Aku ambil motor dulu, kamu gendong aja dia keluar. Pakaikan sarung!" titah ayahku keluar dari kamarku.

Aku segera di bawa ke puskesmas terdekat, aku segera di rawat. Dan ternyata setelah di periksa aku mengalami penyakit yang lumayan parah.

"Kasian anakku, masih kecil harus mengalami penyakit seperti itu. " ucap ibuku.

"Mengapa anak sekecil itu sudah mendapatkan penyakit seperti itu?" ucap Ayahku bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Ayah dan ibuku terlihat cemas mendengar penyakitku, aku yang masih terbaring di dalam ruang ICU tak bisa melakukan apa-apa kecuali bernafas. Aku tidak bisa bergerak sama skali, rasa di tubuhku sangat lemah dan tak sanggup untuk membuka mata, hanya bisa mengeluarkan suara, itupun dengan tidak jelas.

Ayah dan ibuku hanya bisa di luar ruangan melihatku terbaring di dalam. Kata dokter aku harus beristirahat sepenuhnya dulu, jika sudah meningan barulah aku bisa di temui.

Mendengar aku sakit, guru-guruku di sekolah pun ikut menjengukku. Walau hanya bisa di luar saja, begitupun dengan ustaz Amar. Mereka hanya melihatku dari luar dengan penuh ke khawatiran.

"Sebaiknya mari kita do'akan Alma bersama-sama pak, bu" tawar ustaz Amar.

"Iya Ustaz, " jawab mereka.

Ustaz Amar pun memulai berdo'an sedangkan yang lain hanya mengaminkan.

"بسم الله الر حمن الحيم

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembukanlah ia. Hanya engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan darimu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi. " kata ustadz Amar

"Aamiin ya robbal 'alamin" ucap mereka serentak.














Salam Author

Alda Maylanda

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang