*tanpa perlu aku bilang pasti udah tahu dong ya chapter ini enaknya dibaca sambil denger lagu apa?* - Selamat membaca!*
Siapa sangka perjalanan dari rumah Batara ke rumah sakit yang harusnya memakan 30 menit berserta macet-macetnya bisa ditempuh setengah kali lebih cepat. Bahkan Batara sendiri, entah apa yang ada di pikirannya setelah menerima panggilan telpon dari manager Rana—singkat cerita dengan pakaian kemeja rapi yang berbanding terbalik dengan isi kepala yang porak-poranda menerobos jalanan sampai ke parkiran rumah sakit.
Dari kerumunan wartawan yang berburu beberapa kalimat sudah ramai menunggu di pintu masuk sampai parkiran, satu kenyataan pahit seketika menyentilnya.
Bahwa kini bukan Batara lagi orang yang pertama tahu tentang Rana.
Bahwa kini Batara sudah jatuh ke peringkat orang asing dalam prioritas Rana—bahkan mungkin seluruh masyarakat Indonesia lebih dulu tahu berita ini. Sementara Batara, jika bukan karena manager Rana lumayan kenal dekat dengannya—mungkin Batara masih datang ke pesta pertunangan Genta, mencoba menjalani kehidupan sosial yang normal demi mengisi ruang sepi setelah kehilangan Rana.
Sepanjang perjalanan, di kepalanya terputar rekaman keangkuhannya beberapa hari lalu saat pertemuan mendadak mereka malam itu. Dimana Batara dalam kostum sang 'mantan' yang gagah datang menawarkan pertemanan kepada Arana yang mungkin sama sekali tidak membutuhkan itu.
Batara merasa jadi seseorang yang kuat dan berani sehingga menurutnya Rana pasti bisa jadi seperti itu juga dalam menghadapi perpisahan mereka. Tidak—harusnya Batara tahu dirinya sendiri bahkan hampir kosong setelah mereka berpisah, dan bisa-bisanya dia beranggapan Arana akan lebih baik darinya?
Bodoh.
Menyamakan hidupnya yang datar dengan hidup Rana yang seperti berjalan di atas helaian kaca—bagaimana bisa kehilangan satu orang peran utama dalam hidup mereka akan terasa sama?
Bagaimana bisa Batara lupa bahwa kalimat yang dulu paling sering dikatakan Rana padanya adalah "kalau nggak ada kamu Ara mungkin aku nggak akan bisa waras hidup di industri ini."
Malam itu harusnya Batara sadar, dengan Rana tiba-tiba duluan menghubungi adalah pertanda perempuan itu sudah di jalan buntunya. Masalah-masalah yang diceritakan padanya belum seberapa dari jumlah aslinya yang tidak akan pernah bisa dijelaskan kata-kata.
Hal-hal yang dulunya bisa didengar Batara tanpa perlu Rana bicara.
Karena itu Arana memanggilnya, untuk dimengerti.
Untuk Batara meminjamkan sedikit waktu sampai Rana menemukan kembali pijakan kakinya. Tapi bukan malam itu harusnya Batara langsung mendorongnya untuk berbalik memberanikan diri menyusuri jalan sendiri lagi.
Di belakang gerombolan wartawan yang menghalangi pintu masuk, membuat Batara frustasi—dengan semua hal, terutama dirinya sendiri yang mengantar Rana pulang malam itu tanpa satu pelukan yang setidaknya membuat Rana merasakan bahwa yang ditemuinya itu masihlah Lingga Batara yang sama.
"Batara!"
Tepat sebelum Batara berniat membelah kerumunan dengan nekat, namanya dipanggil dari sisi lain bagian samping rumah sakit.
Mbak Elis—manager Rana yang tadi menelponnya. Wanita itu sama kacaunya dengan Batara, jelas dari mata bengkak dan pakaian kusut ia melambai ke Batara untuk ikut masuk lewat jalur khusus.
"Rana nggak kenapa-napa kan mbak?"
Tanpa basa-basi Batara menodong dengan satu pertanyaan yang jawabannya sedikit banyaknya akan mampu mengembalikan kewarasannya kembali. Ada mantra di kepalanya yang berlari cepat menunggu beberapa detik Mbak Elis menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors : A day in Velvet
FanfictionStories of Batara, Jesse, Jiwa, Kenzo and Gentala.. in their own colors.