Hi guys, here you go, I wrote a bonus chapter for this colors series. Hope you like it!
Don't forget vote and comments
Enjoy!
*
Kafe semi bar yang baru pertama kalinya dikunjungi laki-laki dengan rambut hitam tanpa model aneh-aneh, -yang bisa jadi terlalu malas diapa-apakan karena toh akan rusak juga dipakaikan helmnya- itu tampak sepi diiringi sayup-sayup musik jazz memenuhi ruangan.
Hanya ada beberapa pengunjung yang sepertinya bukan dari kalangan anak muda pecinta mabuk sampai teler dan berujung menggila di dance floor. Semua pengunjung tampak tenang, meski diamnya mereka tidak menjamin jinaknya minuman-minuman dihadapan, pun tidak menjamin diamnya persoalan dunia yang mungkin tengah kacau balau dikepala masing-masingnya.
Jiwa, menetapkan dua mata kecilnya langsung ke arah meja bundar mengelilingi bartender yang hanya diisi seorang laki-laki yang dari punggungnya jelas berteriak 'kesepian'.
Tidak, Jiwa tidak kenal punggung kesepian itu. Semua yang ada disini asing baginya, karena itulah yang jadi alasan dirinya mencari ke sudut Jakarta, kemanapun tempat yang belum pernah ditujunya.
Jika bisa seasing mungkin, untuk melupakan memori lama yang akhir-akhir ini kembali merajalela menjajah benaknya. Mengacaukan ketenangan yang bertahun-tahun disusunnya dengan teramat teliti.
Tak ada suara selain decitan kursi yang baru didudukinya, tepat disebelah laki-laki dengan punggung kesepian tadi. Duduk disebelahnya, tengah menunduk memperhatikan jari yang bermain dipinggiran gelas minuman kerasnya.
Sang bartender menghampiri, sebelum sempat bertanya Jiwa menunjuk asal satu botol yang terlihat paling 'keras' diantara deretan botol-botol mahal dipajangan di belakang si bartender.
Mungkin ia akan hilang akal malam ini, bukankah itu tujuannya jauh-jauh datang kesini untuk mencari tenang dan melupakan perempuan abadi dalam memorinya, barang sekejap?
Perempuan yang minggu lalu ternyata masih menancapkan pedang yang sama ke dadanya, dengan sakit yang sama, dengan kalimat singkat 'Ada, di Bali' nya.
"Try again?"
Lamunan Jiwa terpecah saat satu suara dari si laki-laki kesepian disebelahnya, dengan mata terpaku pada judul buku yang bahkan Jiwa sendiri tidak sadar kenapa masih ditangannya, dibawa kesini disaat seharusnya buku itu dibuang atau dibakarnya saja sekalian.
Tanpa merasa perlu menjawab apa-apa, Jiwa memberi akses penuh pada si kesepian untuk meminjam bukunya.
Laki-laki tadi dengan senang hati mengambil alih novel dengan gambar sampul super simpel namun kentara memberi kesan 'deep longing' dari keseluruhan isi buku yang entah sudah berapa puluh kali dibacanya berulang-ulang.
"Hmm... penulis.. Auristela Shaenette.. oh? Jadi ini buku itu..."
Jiwa menoleh kesebelahnya, untuk menemukan laki-laki tadi ternyata hanya bermonolog dengan seulas senyum hangat yang berbanding terbalik dengan sorot sendu sepasang matanya.
Mata sendu tadi dengan seksama membaca kata demi kata di sinopsis bagian belakang buku.
"Kalau boleh tau ini novel tentang apa?" Katanya, kali ini terang-terangan membuka obrolan dengan Jiwa.
"Roman picisan"
Jawab Jiwa dengan gestur santai mengangkat bahu dan senyum singkat. Seolah isi buku tersebut hanyalah cerita romansa anak SMA yang terlalu dimanis-maniskan si penulis tanpa sesuatu berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors : A day in Velvet
FanfictionStories of Batara, Jesse, Jiwa, Kenzo and Gentala.. in their own colors.