20

162 19 1
                                    

Jangan lupa vote

Happy reading ❤️

——————————————————

"There is something if it is finished, then that's it, besides accepting it freely."

-tereliye
—————————


"Saya mencintainya, Syafiq."

Kalimat itu dengan lancar berseliweran di kepalanya. Syafiq mengusap wajah kasar.

Setelah Rayhan mengucapkan serendetan kalimat yang mampu dirinya tak berkutik, lelaki itu tak sadarkan diri.

Ihsan datang dengan tergesa. Lelaki itu langsung meluncur setelah di telpon oleh Syafiq yang mengatakan bahwa bosnya tak sadarkan diri.

Syafiq memutuskan pergi dari sana. Biarkan Ihsan saja yang menunggunya.

Syafiq membuka pintu itu. Mendapati Rayyan yang sedikit menoleh dan Feyla yang sibuk dengan laptopnya. Tapi kemudian Rayyan kembali mendengarkan cerita Syakila.

"Om buta sejak lahir kah?"

Pertanyaan itu membuat langkah Syafiq yang hendak duduk di sofa terhenti. Jari Feyla yang lincah diatas keyboard pun berhenti. Ia menoleh. Melihat respon dari Rayyan.

Rayyan sendiri tampak menegang.

Syakila yang merasa pertanyaan agak menyinggung lelaki di depannya pun berdeham. "Syafiq, mau minum."

Syafiq membukakan botol minum dan meminumkannya pada kakaknya.

"Maaf, om."

Rayyan tersenyum, "gak pa-pa,"

Ketukan pintu membuat mereka mengalihkan pandangan ke arah pintu. Syafiq membuka pintu itu.

Tampak Malih dengan dua bungkus plastik di masing-masing tangannya.

Syafiq mengambil plastik yang satunya. "Mi ayam?"

"Ho'oh gua beliin lu pada sekalian."

Syafiq mengangguk. Ia meletakkan plastik itu di meja.

"Fiq, kita harus bicara." Syafiq mengernyit tapi tak ayal mengangguk. Mereka berdua duduk di kursi tunggu depan ruangan.

"Ngapa?"

Malih menyamankan duduknya. "Ada sesuatu yang pengen gua kasih tau ke, lu. Yaa gatau ini penting apa enggak buat lu. Tapi gua emang mau ngasih cuma ke, ku."

"Iya, apa?"

"Setelah gua denger pembicaraan lu sama... Emm—pasien yang tadi, padahal dia itu bos gua juga, Fiq."

"Bos? Bos yang ngasih lu kerjaan?"

"Iyaa gua sadar pas dia mulai ngomong sama, lu. Mungkin dia udah lupa sama gua, yaa gua berusaha diam sih."

Syafiq mengangguk paham. Sekarang ia dapat menyimpulkan semuanya.

"Jadii... Lu udah kasih tau tentang dia yang donorin matanya buat Pak Rayyan?"

Syafiq menggeleng. "Gua masih bimbang."

Syafiq menyugar rambutnya kasar. "Gua gak yakin."

Malih menepuk bahu lelaki itu. Berusaha menenangkan.

Syafiq merasakan ponselnya berdering. Ia merogoh sakunya.
Telpon dari Ihsan.

"Halo?"

"H-halo..."

"Kenapa?"

"B-bos meninggal."

Saat itu juga Syafiq berdiri dengan ponsel yang masih terhubung pada panggilan. Malih yang melihatnya terkejut. Lelaki itu mengikuti langkah lebar milik Syafiq.

"Fiq woy kenapaa?" Malih berusaha menyamai langkah mereka.

Mereka sampai di depan ruangan Rayhan. Tampak Ihsan yang sedang menunduk.

"San?"

Ihsan langsung berdiri. Ia membuka ruangan membiarkan Syafiq dan Malih masuk.

Syafiq dapat melihat diatas ranjang, sebuah gundukan yang tertutup kain putih. Jantungnya bertalu-talu dengan keras.

Ia membuka kain penutup itu. Malih mengikuti di belakangnya. Lelaki itu tampak termenung.

"Mal..." Syafiq menoleh pada Malih.

"Gimana, ngab?"

Syafiq menggeleng lesu. Berarti ia harus menuntaskan permintaan lelaki itu.

.
.
.

Setelah Syafiq dan Malih keluar dari ruangan itu. Ihsan tampak panik.


"Gimana nih? Ibu mau dateng!" Ihsan mengguncang-guncangkan ponselnya yang menampilkan chat dengan ibu dari Rayhan.

"Jam berapa mau dateng?"

"Ntar malem katanya." Syafiq berpikir keras. Ia harus cepat memberitahu Rayyan bahwa ada yang mendonorkan matanya. Lalu serangkaian rencana muncul begitu saja.

Syafiq membisikkan seuntai kalimat rencana pada Malih dan Ihsan.

"Lu serius, bro?" Syafiq mengangguk yakin.

"Tapi... Saya takut ibu gak percaya."
Ihsan mengatakan kalimat yang mengganjal juga pikiran Malih.

"Kita buat dia percaya." Syafiq berkata mantap.

Syafiq berjalan ke ruangan kakaknya. Ia mendapati kakaknya yang tertidur. Lalu matanya menatap Rayyan yang sedang menenggak minumnya.

"Om,"

Rayyan menaruh minumannya di atas nakas dengan perlahan. "Ya?"

"Emm ada yang mau saya omongin di luar."

"Kenapa gak disini aja, Syafi?"

"O-oh itu, nanti takut kakak kebangun."

Rayyan mengangguk setuju mendengar alasan itu. Syafiq merangkul bahunya saat mereka keluar dan duduk di kursi.

"Ada apa?"

Syafiq menghela nafasnya. Meyakinkan diri bahwa ini yang terbaik. "Itu, ada yang donorin matanya buat, om. Om bersedia kah?"

Rayyan terdiam. Sudah lama sekali ia ingin bisa melihat. Itu adalah cita-citanya. Siapa gerangan yang rela mendonorkan matanya?

Tapi tak ada cara lain jika ia mempunyai keinginan untuk bisa melihat. Hanya ini.

"Siapa yang donorin?"

Kali ini Syafiq meneguk ludahnya. Ia berpaling kearah lain.

"Ada, om. Dia ingin merahasiakan identitasnya."

"Sepertinya saya harus tau, Syafiq." Rayyan berkata pelan. Syafiq tersenyum.

"Yang penting omnya mau, dan dianya juga bersedia."

"Kapan operasinya?"

"Sore ini."

——————————————————

Sori pendek :)

Gatau suka banget sama kata-kata motivasi dari Tere Liye

Dah lah makin gaje.

Mungkin beberapa hari kedepan gak bisa up karena aku udah mulai PHB sekolah + ujian Tahfiz juga.

See you.

- 21 Februari 2021

FAVOUR [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang