13. Tahun Kelabu

427 129 34
                                    

🍃🍃🍃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍃🍃🍃

"Sandika?"

Laki-laki bertubuh tinggi itu sama terkejutnya melihat Haikal ada di dalam kamar rawat. Tangannya mengepal kuat sesaat mengingat apa yang ia lakukan dengan Haira. Hal itu terus terputar di kepalanya, membuat sesak itu kembali terasa nyata. Seakan belum puas semesta menghancurkan hatinya dengan kenyataan pahit yang harus ia lihat dengan matanya sendiri, kini ia pun harus mengetahui fakta yang papa sembunyikan sejak lama.

Sandika melangkah lemas dan berat terlebih setelah melihat mamanya menangis. Belum lagi Talita yang memeluk papa dengan erat. Pertama mendengar kabar tentang papa ia memang terkejut, namun tak menyembuhkan sedikit luka di hatinya. Dia berjalan mendekati kasur. Di sisi lain kasur itu, ada Haikal yang menatapnya tajam namun digenangi air mata. Menggambarkan kemarahan yang disebabkan luka.

Bukankah ini yang coba takdir katakan pada mereka, fakta bahwa mereka adalah saudara sedarah. Darah yang mengalir di tubuh mereka sama, darah papa.

Senyuman getir muncul di wajah papa yang menahan sakit setengah mati seakan sudah memasuki waktu dimana perlahan nyawanya ditarik dari raga. Sandika yang melihat itu segera mendekati tubuh papanya. Ketahuilah refleks Sandika persis dengan Haikal. Di saat yang bersamaan mereka berdua mendekap tubuh papa.

Callystara berusaha untuk tegar setengah mati, merangkul mamanya dan wanita yang bernama Sania itu.

"Pa..., Pa, istighfar," bisik Haikal.

Tubuh laki-laki itu terlihat agak kejang dengan tangannya yang mengepal kuat kedua tangan anak laki-lakinya. Air mata tak henti-hentinya menetes menahan betapa sakitnya ketika nyawanya dicabut dari raga.

Tangisan Talita begitu pecah di ruangan itu. Callystara beralih memeluk tubuh mungil itu dengan hati yang amat perih.

"PAPA!!! PAPA KENAPA????" Talita berulang kali bertanya seraya menangis.

"Pa..." Sandika sadar bahwa genggaman itu semakin melonggar.

Wajah itu berubah pucat pasi dengan mata yang setengah terpejam. Semua orang yang ada di ruangan itu menangis sejadi-jadinya. Haikal dengan cepat menekan alarm untuk memanggil perawat atau pun Dokter. Sedangkan Sandika masih dalam keadaan setengah percaya, seketika sunyi menyumbat telinganya. Hanya membisikan sebuah sisa kenangan yang terlintas lagi di kepalanya.

"Sandika kalau udah gede mau jadi apa?"

Seorang anak kecil yang tengah duduk di lantai sambil memainkan gasingnya berpikir sebentar.

"Aku mau jadi pahlawan yang bisa mengusir kesedihan! Biar mama, sama adek kecil nggak akan sedih selamanya!"

"Haha, usir pakai apa?"

"Umm... Pakai gasing?" tanya anak itu polos.

Papa menggeleng pelan, "pakai pelukan."

Buana | Sungchan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang