18. Alunan Luka

448 121 10
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ada rasa yang terlalu kuat meski tahu Tuhannya tak akan merestui.

Alunan lagu rohani tengah diputarnya dan didengarkan lewat earphonenya. Jeje memandangi langit-langit kamarnya yang berwarna hitam. Konsep monochrome di kamarnya membuat dirinya jauh lebih tenang dari sebelum kamarnya di renovasi. Warna dinding kamarnya ungu, warna kesukaan sang ibunda. Kini jauh lebih baik dan sesuai dengan kehidupannya yang hanya hitam dan putih.

Nami adalah warna yang fana, layaknya pelangi. Rasa ingin memilikinya seringkali tertampar oleh kenyataan jika keduanya tidak akan pernah bisa bersama. Dinding perbedaan antara mereka terlalu sulit ditembus. Jika terus memaksa, itu hanya akan melukai hati sendiri. Mengecewakan diri sendiri dengan harapan-harapan yang dibuat.

Jeje melepas benda yang menyumbat telinganya, netranya teralihkan pada jendela yang setengah terbuka. Malam ini terasa dingin berteman rindu di atas kasur dengan sprei putihnya. Kepalanya tengah berlayar mengingat lautan kenangan yang semakin pekat akibat rindu.

Haruskah ia menelepon perempuan itu di jam seperti ini?

Jeje dengan semangat mencari nomor Nami di dalam ponselnya. Ada rasa menggebu-gebu dalam hatinya ketika akan menghubungi perempuan itu.

"Assalamualaikum, ini siapa?"

Senyuman getir tergambar jelas pada wajah Jeje mendengar salam dari ujung telepon. Dalam beberapa saat ia diam membelenggu dalam kepedihan hati yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Ini aku, Nam," desisnya lembut.

🌾🌾🌾


Semilir angin berhembus menerpa tiap helai surai keduanya. Bisa Sandika rasakan, ketidakadilan dunia ini. Sehancur apapun dirinya, dunia tetap terlihat baik-baik saja. Sesakit apapun hatinya, hanya dia yang terluka. Membayangkan sesuatu, hal ini sering terlintas di dalam kepalanya yang agak mulai tidak waras. Dunia akan baik-baik saja tanpa dirinya. Tidak akan ada sebuah kehancuran, tidak akan ada meteor yang jatuh atau pun yang lainnya.

Dunia akan tetap berjalan seperti bagaimana seharusnya. Ada atau tanpa adanya dia.

Katakanlah Sandika kembali jatuh ke titik terendahnya, dia sulit untuk berpikir jernih sekarang. Bawaan hatinya ingin mati meski sadar dia sendiri belum siap berhadapan dengan Tuhan. Belum punya amalan yang cukup.

Mungkin lebih tepatnya bukan ingin mati. Sandika hanya lelah dengan segala yang terjadi di hidupnya. Ya, dia sadari satu hal bahwa dia benar-benar pengecut. Dia selalu kalah dengan keadaan, dirinya selalu berakhir menjadi pecundang seperti ini.

"Kalau mau akhirin hidup, akhirin aja," celetuk seseorang. Ketika dirinya menoleh, otomatis saja kedua kelopak matanya sedikit melebar lantaran tidak menyangka jika Haira benar-benar datang menemuinya.

Buana | Sungchan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang