17. Sedari Menanti

398 121 18
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sandika menghisap rokoknya tak henti-henti. Dia menyandarkan punggungnya pada dinding sebuah rumah tua. Tidak ada orang di sekitar sana jadi dia bisa sepuasnya merokok sampai seluruh paru-parunya rusak. Melihat kepergian papa membuatnya semakin cemas dengan Talita. Terlebih jika ia mengingat penjelasan Dokter, bahwa kemungkinan Talita sembuh hanya lah 5%. Kanker yang dialaminya sudah cukup parah.

Terkadang dia berpikir dalam lamunannya, kenapa tidak dirinya saja yang menderita. Kenapa tidak dia saja yang mati, jangan orang lain.

Sekalian saja dunia membunuhnya ketimbang harus seperti ini, seakan dibunuh secara perlahan. Melihat orang-orang di sekitarnya pergi satu persatu.

Kehidupannya sudah cukup kacau setelah kepergian Yura.

Matanya tergenangi air yang tak lagi tertampung. Sandika menahan suara tangisannya dengan terus menghisap rokoknya. Tapi justru pernapasannya sendiri tidak kuat, dia terbatuk-batuk.  Tangisannya semakin menjadi, semua emosi di hatinya meledak seperti bom waktu. Ke sembarang arah dia melempar puntung rokoknya. Meski tahu dia tidak mampu, Sandika tetap mencoba menahan suara tangisnya dengan menggigit bibir bawahnya sendiri hingga berdarah. Tangannya memukul-mukul tanah dengan keras hingga lecet. Dia tidak sanggup menjalani hidupnya.

Sandika kemudian melihat sebuah pecahan kaca yang tidak terpakai disandarkan pada tumpukan batu bata.

Ketika merasa hidup kita ialah yang paling menderita seringkali membuat diri ingin mengakhirinya saja. Hidup bukan lah sebuah kompetisi, tapi apa mengakhiri hidup membuat kita menang? Justru akan terlihat kalah dengan konyol.

Drrtt.. drttt...

Ponselnya bergetar, hal itu berhasil menyadarkan pikiran bodohnya barusan. Sandika segera mengangkat telepon itu.

"Sandika?"

Suara itu, ia mengenalnya.

"Sandika kamu dimana?"

"Haira...," lirihnya.

"Aku tanya kamu dimana?!"

Sandika malah semakin tidak sanggup bicara setelah mendengar betapa khawatirnya perempuan itu.

•••

Haira melangkahkan kakinya dengan terburu-buru. Melihat semua orang di sana berpakaian serba hitam menandakan duka yang mendalam. Ia tercekat ketika melihat jejeran kursi yang ada persis di teras rumah Haikal. Napasnya tertahan ketika melihat itu. Apa ini balasan dari perbuatannya, ini kah hukumannya? Dia mengaku dirinya pernah berbuat salah, namun hal yang paling tidak ia duga adalah Haikal melakukan ini padanya.

Pelukan itu terlihat memiliki arti lain. Dengan jelas Haira melihat kekasihnya berpelukan dengan perempuan lain yang ia yakini bukan lah saudaranya.

Buana | Sungchan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang