EPILOGUE

758 99 40
                                    

🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌾🌾🌾

Duka menyelimuti seisi rumah itu, semua orang di sana berpakaian hitam dengan raut wajah yang sedih. Tangisan mama sungguh menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Betapa kehilangannya mereka akan sosok putri kecil yang cantik bernama Talita. Tawanya tidak akan pernah terdengar lagi di rumah itu. Rewelnya Talita karena tidak bisa mengupas buah.

Setengah mati Sandika menahan air matanya sedari tadi. Dia terduduk di samping tubuh adiknya yang telah terbujur kaku. Wajah Talita yang kemerahan kini berubah pucat. Tangannya gemetar memegangi buku yasin. Rakka dan Jeje berusaha menguatkan Sandika.

"Kuat, Dika." Rakka menepuk-nepuk pelan pundak Sandika. Tapi sayang sekali kata-kata itu tak menguatkannya sama sekali. Justru rongga dadanya terasa semakin sesak.

Jika dunia ini memang adil, kenapa Sandika harus mengalami ini semua? Ditinggalkan orang yang dia sayangi satu persatu.

"Talita nanti sedih lihat lu kayak gini, Dika. Pasti bisa lu lewatin ini semua." Kali ini Jeje buka suara.

"Nggak bisa, Je! Mau seluruh dunia semangatin gue, gue nggak bakal bisa," balas Sandika.

Jeje dan Rakka mendadak bungkam, memang betul rasanya kata-kata yang mereka keluarkan hanyalah rangkaian kata klise. Tidak merubah apa-apa. Luka tetap luka. Bukan kata-kata itu yang dapat menyembuhkannya saat ini.

Haira yang duduk di seberangnya, tepat di sebelah mamanya pun tak bisa menahan air matanya yang semakin membuat matanya terasa panas. Tangisan pilu mereka terdengar begitu menyakitkan hatinya. Terlebih lagi Haira belum lama ini dekat dengan Talita. Dia tidak heran apabila Sandika begitu menyayangi adiknya itu. Talita adalah anak penurut tapi juga asik jika diajak bercanda. Belum lagi senyumannya, senyuman Talita bagai lengkung bulan sabit yang cantik.

Tangannya dengan hati-hati mengusap punggung wanita paruh baya di sebelahnya.

"Ikhlas ya, Tante."

Wanita itu justru menggeleng pelan.

"Bukan nggak ikhlas, tapi belum siap," jawabnya lirih.

Dari jawaban itu Haira mengerti betapa sakit hati seorang ibu yang ditinggal oleh anaknya lebih dulu. Membayangkan mulai dari mengandung sembilan bulan, melihatnya tumbuh perlahan, tapi tidak sempat untuk melihat putrinya tumbuh dewasa.

"Tante pengin lihat Talita tumbuh dewasa, cuma itu..."

Haira lantas merangkul wanita tersebut. Kadang hati yang terluka tidak terlalu butuh kata-kata. Cukup didekap dengan kasih sayang, beri kenyamanan. Setidaknya buat mereka tidak merasa sendirian menghadapi segalanya.

Buana | Sungchan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang