Apakah tawaran Pak Farid sangat menguntungkan atau justru gila? Lima siswa mengabaikan hal itu dan menerimanya, merawat seorang bayi agar Excellent batal dibubarkan.
Excellent merupakan program favorit sekolah berisi lima siswa berprestasi unggulan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Konsentrasi dari penjelasan guru di depan papan tulis, bergeser saat ponsel di loker meja berdering singkat. Atra mengecek sekilas, kemudian merapikan buku sebelum menghampiri pengajar. "Saya izin meninggalkan kelas."
Atra membungkuk kecil sebagai tanda hormat, sebelum beranjak menuju pintu. Baru beberapa langkah, dia terhenti oleh seruan guru, "Kamu gak pakai surat dispensasi? Ada urusan apa emangnya?"
"Saya kan ...," Atra memutar tubuh guna memandang guru kembali, "anggota Excellent, yakin kepala sekolah telah memberi nyaris segala kebebasan asal dalam rangka mempersiapkan prestasi. Saya gak perlu surat izin."
Sekali lagi dia membungkuk—kali ini lebih lama. Tersenyum, lantas mengucap salam sebelum benar-benar pergi dari kelas. Ke mana langkah menuju telah menjadi perangkat petunjuk arah yang memiliki fitur bawaan di otak. Memasuki gedung utama SMA Jagadhita, Atra menghampiri salah satu ruang. "Permisi. Maaf membuat Anda sekalian menunggu, saya bisa memulai laporan segera!"
Bukan hal asing lagi bagi Atra, berdiri seraya menjelaskan berbagai hal terkait Excellent di hadapan orang-orang terpenting SMA Jagadhita. Menyelesaikan agenda ketika dinding berubah jingga, dia bergegas kembali ke apartemen.
"Gue balik." Atra menutup pintu kembali, lantas melangkah ke sisi lebih dalam. Balasan salamnya baru terdengar saat dia mencapai ruang tengah. Mencari dua orang pemuda lain di sana, kemudian perhatian tertuju ke salah satu. "Den, mau latihan?"
"Tentu!" Dia membawa beberapa musik dengan notasi-notasi musik tergambar sebagai sampul. Lantas berlari kecil menuju tangga.
"Semangat!" Seruan agak kencang Atra membuat Den berbalik sesaat guna tersenyum lebar dan menunjukkan kepalan tangan. Usai pemuda berparas paling manis itu menghilang di ujung anak tangga, Atra menyambar buku di atas meja ruang tengah.
Belum genap semenit mengulas isi buku, atensi Atra pecah saat denting oleh deretan tuts piano ditekan lincah dengan tempo cepat, menggema hingga lantai pertama. "Den pasti lupa nutup pintu, peredam suara studio jadi gak bekerja." Dia mengalihkan pandangan ke pemuda lain di depan meja. "Yaya, lu belajar?"
"Gak apa-apa." Pemuda itu tak mengalihkan tatapan dari halaman buku bertulis rumus-rumus fisika. "Suara piano gak bakal ganggu konsentrasi gue. Gak perlu repot nutupin pintu lantai dua."
Mencoret satu kalimat terakhir di sela catatan, Yaya langsung menyandar seraya mendinginkan kepala. Berselang sebentar, dia tak sengaja menengok ponsel usai getar singkat terasa dan layar otomatis menyala. Notifikasi artikel, membuatnya menyadari sesuatu. "Ini malam sebelum weekend?"
Atra melirik kalender. "Bener juga."
Yaya menggaruk rambut. "Gue sampai hampir gak inget."
"Lagian buat apa nungguin weekend?" Atra mengangkat sebelah sudut bibir. Menengok kelur jendela besar—memperlihatkan halaman samping—dari celah gorden. Tak ada seorang pun di luar. "Cemani belum balik?"