13: Sepasang Kisah

78 49 1
                                        

Den tak pernah mendambakan sebutan pianis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Den tak pernah mendambakan sebutan pianis. Tiada satu pun tuts piano ditekan, sanggup memberi getaran sama layaknya memetik senar gitar. "Ayah ...," Dia menarik napas berat, "Pak Kresna Edi. Itu perintah dari beliau."

Yaya agak membuang muka. Dia tak terlalu paham karena belum pernah berada di posisi itu sebelumya. Tahu bukan pembicaraan menyenangkan diteruskan, tetapi rasa penasaran menguasai. "Lu gak boleh milih?"

Den menggeleng. Bila tak begini, mana mungkin dia membanting setir walau masih sama-sama berada di ranah musik.

"Tapi ...." Yaya berguling ke samping, menghadap Den. Entah mengapa otaknya ingin mencari tahu kemungkinan terlambat yang bisa saja terjadi di alternatif universe. "Kalo lu benar-benar bisa gabung sama suatu band sebagai gitaris, apa bakal ngejar popularitas juga?"

Tawa kecil Den menyayat hati. "Gak lah. Itu pun perintah Ayah. Sebenarnya aku cuma pengen main gitar aja. Popularitas bukan apa-apa bagiku, tapi beda cerita buat beliau."

"Ayah lu?"

Den mengangguk pelan. "Aku emang suka musik, dan udah jadi musisi kayak yang beliau inginkan. Tapi katanya, itu belum cukup buat menggambarkan putra seorang Kresna Adi seharusnya."

"Musisi kan tetap musisi," Yaya menggerutu.

Den mengangkat alis—sesungguhnya menyetujui hal itu—dan mengerucutkan bibir. "Aku gak tahu lagi."

Yaya tiba-tiba melempar fokus ke segala arah. Cerita Den mengingatkan pada diri sendiri. Seperti apa yang dipikirkan sebelumnya, dia memang tak sepenuhnya paham karena belum pernah berada di posisi seperti Den.

Yaya memang jenius di bidang fisika dan itulah mengapa dia berada di Excellent. Bila Den seolah diikat oleh ayahnya, Yaya bisa jadi dikurung oleh diri sendiri.

Semenjak maju sebagai perwakilan SMA Jagadhita di OSN Fisika tahun lalu, selalu ada rantai kuat yang menahannya untuk tak melangkah lebih jauh. "Gue gak tahu ini malas, takut, atau apa. Gue sering banget ngerasa ... sebaliknya gak ke sana lagi."

Dia berangsur serius. "Lu tahu, Den. Tadi siang ...." Masalah kupon belum selesai hanya dengan Yaya memberikan sebagian miliknya kepada Ranya.

"Lu nyogok gue?"

"Bukan gitu!" Yaya mendecak. Sok imut dengan menghentak-hentakkan kaki. "Ayolah ... Gak ada salahnya kan cerita!"

Ranya duduk menyandar. Memiringkan kepala. Mengamati Yaya lekat-lekat. "Gue rasa lu bukan tipe orang yang sesuai buat dengerin."

Yaya tersentak. Dia buru-buru menghapus kesan kekanakan. Di depan Ranya, gadis yang kerap mencuri tempat di pikiran, tentu ingin menunjukkan sikap yang lebih menawan. "Kenapa? Gue kurang apa?"

"Kurang serius." Senyum tipis Ranya berubah menjadi sedikit lebih lebar.

Pupil Yaya melebar. Lagi-lagi raut kosong terpampang nyata. Di dalam kepalanya mungkin sudah penuh oleh segala hal berbau rumus fisika, sehingga sudah tak muat untuk memproses kalimat sederhana.

ExcellentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang