Apakah tawaran Pak Farid sangat menguntungkan atau justru gila? Lima siswa mengabaikan hal itu dan menerimanya, merawat seorang bayi agar Excellent batal dibubarkan.
Excellent merupakan program favorit sekolah berisi lima siswa berprestasi unggulan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menemani rekan-rekan—hendak berangkat sekolah—di ruang tengah, Atra menengok buku. "Lu ada jadwal, Den?"
Den merapikan strap ransel yang melorot. "Ada dua acara, Mas Atra. Nanti malam dan besok. Jadi, kemungkinan aku baru pulang besok sore. Bajunya, jas, juga udah siap di tas."
"Gak apa-apa, kok. Lu gak perlu jagain Baby Ece lagi, biar gue aja." Atra menutup buku. Lalu mengeratkan pegangan pada gadis kecil di gendongannya.
Rasa kecewa Den tak bisa disembunyikan. Menyadari hal itu, Yaya bergegas menyenggol. "Ya udah kalo gitu, kita berangkat dulu!" Tak lupa menarik tangannya agak mengekor, meninggalkan Apartemen Excellent.
"Bang Yaya bilang kita bisa memberontak ...," gerutu Den lirih.
Yaya mendecak. "Ikuti alurnya! Kita memberontak pelan-pelan biar gak terlalu mencolok ...," dia membisik tegas.
Tak berjanji menghadiri kelas bimbingan, Yaya menyembunyikan tas di perpustakaan sambil meminjam buku—sebagai alasan—kemudian meninggalkan ruang. Baru beberapa meter, langkah terhenti karena panggilan seseorang.
"Ranya?" Keberadaan gadis itu agak mengejutkan Yaya. "Kenapa lu di sini?"
Dia mengangkat alis, khawatir. "Harusnya gue yang tanya—"
Tiba-tiba Yaya mendekat, memutar butuh gadis itu agar membelakanginya, lalu mendorong pelan—dia menyadari Ranya tersipu. "Gak usah ngomong kalo abis ketemu gue. Bentar lagi mulai jam pertama, cepetan balik ke kelas!"
Ranya menoleh ke belakang. "Tapi, Ya—"
"Cepat!" Yaya mendorong sedikit lebih keras. Kemudian dia memutar jalan, berlalu pergi.
Enam studio musik sekolah berdiri berjajar. Seorang lelaki familiar berdiri di ambang pintu ruang utama. "Jangan ngelamun!" Yaya menariknya. Lantas membawa menuju tempat di sebelah, di mana salah satu band sekolah, Sketsa, berlatih. "Yo, tim penyemangat datang!"
Niam melirik dua orang yang datang, sambil terus menyanyikan lagu. Senyumnya mengembang, menyiratkan ucapan terima kasih atas kehadiran mereka. Dia baru memberi kode pada teman-teman untuk istirahat usai satu lagu dimainkan.
"Kalian masih nyari gitaris tambahan?" Den bertanya, tetapi semua orang jelas menyadari makna lain di baliknya.
Naim setengah tak percaya. "Den, lu bersedia?"
Den tertawa kecil. "Sebenarnya aku pengen, tapi ... agak gak yakin juga."
Yaya menepuk punggung Den. Tak terlalu kencang, tetapi sanggup menimbulkan suara menggema. "Kenapa masih ragu? Yakin dong, yakin!"
Selalu dengan mudahnya Yaya mengatakan segala hal. Bagi Den, meski mereka telah setuju untuk memberontak, masih perlu waktu lebih untuk memantapkan diri dan benar-benar meninggalkan piano kembali ke gitar yang penuh nostalgia.