Apakah tawaran Pak Farid sangat menguntungkan atau justru gila? Lima siswa mengabaikan hal itu dan menerimanya, merawat seorang bayi agar Excellent batal dibubarkan.
Excellent merupakan program favorit sekolah berisi lima siswa berprestasi unggulan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Loh, Atra mana?" Yaya menyadari hanya dua orang kembali ke apartemen.
Raven asal duduk di sofa ruang tengah. "Dipanggil petinggi sekolah. Biasa, paling ya diminta laporan."
Terbelalak. Yaya spontan menatap Raven. "Serius lu?" Dia hanya mendapat lirikan dari pemuda itu sebagai jawaban, karena sudah jelas. Namun, itu bukan pertanda baik. "Cem, lu bisa gak bantuin—"
Raven meraih ponsel di saku. Mengangkat panggilan sambil menuju halaman depan. Berjaga-jaga agar suara ricuh penghuni apartemen—terutama Baby Ece—tak terdengar sampai ke balik sambungan suara.
"Cemani!" Yaya penuh harap, tetapi pemuda itu tetap tak menggubris. "Cemani! Woy! Bantuin gue mandiin Baby Ece!"
Raven sungguh menghilang di balik pintu utama bangunan Apartemen Excellent. Tak ada tanda-tanda ingin menyahut sama sekali. Yaya beralih menatap Den, di sebelahnya. Lelaki itu hanya mengedip-ngedipkan mata beberapa kali.
"Modar."
Keputusan paling buruk adalah meminta Sadi. Sekian menit lalu—saat pulang bersamaan dengan Raven—dia telah melirik tajam, seolah mengerti bahwa Yaya menyimpan maksud tertentu.
Memulai dengan helaan napas panjang, Yaya menyuruh Den menyiapkan beberapa hal. Air hangat, perlengkapan mandi, serta pakaian dan popok baru.
Baby Ece bukan tipe pembenci air. Sejak dulu, hampir tak pernah terdengar suaranya menangis ketika mandi. Bahkan, sempat beberapa kali gadis mungil itu tiba-tiba tenang—setelah sebelumnya mengomel atau menangis—saat diberitahu akan mandi.
Masalah justru terletak pada Yaya. Sesering apa dia menggendong Baby Ece, menyangga bocah itu di dalam bak air bukan perkara sepele. Kaki dan tangan mungil tak jarang bergerak-gerak.
Angan-angan bocah itu meleset, lalu membentur permukaan bak, menghantui pikiran Yaya.
"Selesai, selesai, selesai." Yaya menggendong Baby Ece telentang di atas dua lengannya. Bergegas membawanya ke handuk yang terbentang di atas springbed ruang tengah.
Usai mengeringkan tubuh, saatnya memakai minyak dan bedak. Kemudian, pakaian. Sayang, Yaya sebelum sempat mengenakannya, Baby Ece berguling-guling lebih dulu. "Eh, bentar! Malu deh Baby Ece!"
Berkali-kali mengembalikan Baby Ece telentang, dia selalu menangis, ingin kembali tengkurap. Semakin sering Yaya membujuknya, kian kencang suara bocah itu.
Yaya menghela gusar. Seseorang baru saja muncul dari sisi apartemen lebih dalam. Sesungguhnya dia keringat dingin bila harus berurusan dengan orang itu, tetapi inilah jalan terakhir. "Sadi, bantuin dong!"
"Gak!" Sadi mengambil map berisi beberapa lembar kertas dan tas kecil di atas meja belajar—di ruang tengah, tempatnya biasa. "Gue ada urusan! Jadi, selesaikan permainan kalian sendirian."
"Apa?" Yaya mengerutkan alis kesal. "Denger, ya!" Dia mengabaikan tangisan. Memaksa gadis kecil itu telentang, memasangkan popok. "Gue rela ngelewatin kelas bimbingan demi jagain Baby Ece!"