Bab 5 : Gue Bukan Devano!

1.7K 235 4
                                    

Begitu damai, tenang, sejuk, tidak ada rasa sakit...

Ukh, di mana ini? Apa gue udah sampe di akhirat ya? Mocca mengeluh dan membuka matanya.

Yang pertama dilihatnya  adalah wajah seorang ibu, meskipun mungkin sudah terpaut  usia 40 tahun, tapi ibu itu masih terlihat cantik, berkulit putih, bermata coklat muda, seperti indo bule. Wanita itu tampak sedang menatapnya dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Air matanya berlinangan di pipi. Sepertinya dia sedang sedih sekali.

Si - siapa ibu itu? Malaikat kah ? Mocca teringat pelajaran agama di sekolah, kalau kita mati, ntar didatengin dua malaikat, Munkar - Nakir. Hmm, a - apa ini malaikatnya? Tapi kok cantik gini? Mana yang satu lagi? Dan kenapa malaikatnya nangis terus yak? Apa karena sedih liat gue kebanyakan dosa?

Pemuda itu memandang berkeliling, sejauh matanya memandang, semua tampak serba putih dan bersih.

Deretan pria dan wanita berseragam putih tampak berjejer di samping Mocca, beberapa di antaranya bahkan memakai stetoskop yang tergantung di leher. Dokter dan perawat kah mereka? Oh bagus dah, mungkin sebelum gue dicemplungin ke neraka, gue diperiksa fisik dulu,  sehat kagak? Mocca meringis, berusaha bangkit, tapi sulit karena begitu banyak peralatan medis yang melekat di tubuhnya.

"Busyeet, ribet amat nih peralatan!  Buk, eh Pak, eh Tante, bisa tolongin lepasin ini gak? Saya rasa kalo kita mati, kagak perlu diinfus lagi kan?" Kata - kata itu spontan meluncur begitu saja dari mulut Mocca, membuat semua orang di situ tersentak, menatap ke arahnya dengan wajah tercengang. "Hee, kenapa? Apa saya salah ngomong?"

"Devano sayang, jangan bangun dulu, Nak. Kamu pasti masih bingung ya? Dua hari kamu tak sadarkan diri di ruang ICU, kamu sudah membuat Mama sangat khawatir," kata ibu cantik yang sedari tadi duduk di samping tempat tidur Mocca.

Ruang ICU? Berarti gue sedang di Rumah Sakit toh? Kirain dah sampe di akhirat. Mocca lambat - laun mulai connect  sedang berada di mana dia sekarang. Ta -Tapi tunggu...Apa tadi dia bilang?

"Devano?" Mocca melebarkan matanya, busyet dah! Gak di dunia, gak di akhirat, eh maksud gue di Rumah Sakit, gue selalu dikirain Bos Devano. Oke, oke, gue udah biasa dikirain Bos Devano, tapi ini gak lucu toh, gue baru aja kecelakaan, nyasar entah di Rumah Sakit mana, Eeh langsung dikirain Bos Devano? Pemuda itu mengerutkan kening memandang ibu cantik itu. Tapi hebat juga Bos Devano, fans-nya sampe ibu - ibu juga!

"Baru tiba dari Paris, Angela? Masih ingat juga dengan anakmu?" Tiba - tiba terdengar suara berat dari depan pintu ruang ICU, seorang pria parlente sebaya dengan ibu cantik itu, masuk. Mocca tersentak,  menoleh ke arah pria itu. Hah, siapa lagi ini?

"Ah, Mas Harry, Devano kan anak kandungku, tentu aku selalu ingat dengan dia," ibu cantik itu menghela napas, memandang pria parlente itu. "Begitu dapat kabar Devano masuk Rumah Sakit, aku langsung membeli tiket pulang lho, Mas,"

"Oh benarkah?" Tanya pria itu dengan wajah mencemooh. "Sebulan ini berapa kali kamu bertemu anakmu?"

"Mas! Aku kan perlu refreshing juga!"

"Refreshing apa? Liat apa yang terjadi pada Devano?! Kemana kamu saat Devano tergeletak kejang - kejang di kamarnya karena overdosis Morphine?! Kemana kamu?!!"

"Kita sedang di depan Devano, Mas, dan ada pak Dokter..,"

"Aku tak peduli,  aku sudah lelah dengan kelakuanmu, Angela!"

Mocca kebingungan mendengar percakapan yang tidak menyenangkan itu. Ooh, berarti ibu cantik ini Mamanya Bos Devano, lalu Bapak - bapak parlente itu Papa Bos Devano. Shit, pantes Bos Devano kagak pernah senyum, bokap - nyokapnya berantem mulu sih, sering diabaikan pula! Kasihan si Bos.

Ah, kayaknya gue lebih baik pergi dah, gak enak liat orang lagi berantem, lagipula gue rasa gue udah kagak apa - apa lagi neh, Mocca meraba tubuhnya. Emak dan Vava pasti cemas karena gue kagak balik - balik ke rumah. Heran juga, kenapa gue bisa di Rumah Sakit bareng orang tua Bos Devano yak? Apa mereka yang udah nyelametin gue?

"Lho, Devano mau kemana, Nak? Kamu baru saja sadar, kamu masih harus istirahat," cegah ibu cantik itu terkejut melihat Mocca bangkit, hendak melepas infus.

"Saya banyak berterima kasih pada Om dan Tante yang udah nyelametin saya, mungkin Om dan Tante yang bawa saya ke Rumah Sakit, tapi sekarang saya rasa saya udah sembuh, jadi saya  mau  pulang,"

"Bicara apa kamu, Nak? Dari ICU saja kamu belum boleh keluar, masa kamu sudah mau pulang?"

"Oh?" Mocca mengerutkan kening. "Ya udah, kalo gitu saya boleh pinjem handphone -nya, Tante? Saya mau telepon Emak saya, kasihan dia pasti cemas, karena saya gak pulang - pulang,"

"Apa?!"

"Nelepon Emak saya..,"

Ibu cantik itu bukannya segera meminjamkan handphone-nya pada Mocca tapi justru memandangi Mocca begitu lama, dengan raut wajah ngeri, seolah Mocca sudah mengatakan sesuatu yang sangat menakutkan baginya. Bahkan pria parlente yang marah - marah tadi pun ikut memandangi Mocca dengan raut wajah yang sama.

"Dokter, tolong periksa anak saya, mungkin dampak Morphine sudah merusak otaknya juga,"

"Morphine?" Giliran Mocca yang terkejut. Perasaan gue kecelakaan motor deh, bukan karena kecanduan narkoba. "Ini pasti ada yang salah! Saya jelek - jelek gini, gak pernah nyentuh narkoba, Tante, Om!!"

"Tante - Om? Kami ini Papa dan Mamamu, Devano!" Sembur sang pria parlente begitu gusar. "Apa yang terjadi dengan kamu?"

Mocca mulai tidak tenang, sepertinya ada yang tidak beres di sini, ada yang aneh!  Kenapa Papa dan Mama Bos Devano terlihat begitu ngotot memanggilnya Devano? Apa mereka gak  bisa ngebedain gue dengan anaknya?

"Tenang, Devano! Jangan takut, ada Mama, Nak," ibu cantik berusaha menenangkan Mocca.

"Mama siapa? Saya bukan Devano, Tante. Saya Mocca, Tante pasti salah!"

"Devano, kenapa kamu?!"

"Sudah saya bilang saya bukan Devano, Om! Tante!!" Suara Mocca mulai keras. "Jadi biarkan saya pulang!!"

Pemuda itu memaksa turun dari tempat tidur, terhuyung - huyung berusaha menarik lepas semua peralatan medis yang melekat di tubuhnya. Tapi akibatnya dia langsung ambruk ke lantai. Tubuhnya belum mengizinkan Mocca banyak bergerak.

"Devano, sudahlah Nak," .

"Berkali - kali saya bilang, saya bukan Devano! Plis saya  mohon, saya mau pulang! Saya mo ketemu Emak dan Vava! Saya mohon..," Mocca akhirnya mengiba.

Di tengah rasa gusarnya saat para perawat membawa Mocca kembali ke tempat tidur, sekilas terlihat oleh pemuda itu, bayangan dirinya sendiri di dalam kaca ruangan ICU.

Anjir! si-siapa itu?  Mocca nyaris terjatuh lagi dari tempat tidur karena begitu terkejut. Ba - Bayangan siapa itu? Ke-Kenapa gue seperti ngeliat Bos Devano di dalam kaca itu?? Mocca menggigil meraba tubuhnya, dan bayangan dalam kaca itu mengikuti gerakannya. Oh gak mungkin, mustahil! Gue pasti sedang bermimpi! Gue..Gue berada dalam tubuh Bos Devano??!!  KENAPA GUE JADI BOS DEVANO??!!!!

Aku Bukan DevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang