Bab 30 : Kecelakaan Yang Menguak Misteri

550 89 11
                                    

"Ya Tuhan!"

"Dokter, plis tolong Devano, Dokter!"

"Darahnya banyak banget, Dokter!"

Amanda, Bilqis, dan ketiga anggota inti Doppelganger begitu panik, berlari - lari mengiringi brankar Rumah Sakit yang sedang didorong tergesa oleh perawat dan Dokter menuju ruang IGD, membawa Mocca yang sudah setengah tak sadar.

Dido dan Raffa mondar - mandir begitu gelisah di depan pintu ruang tindakan IGD yang tertutup, sementara di dalamnya , dokter dan perawat berjuang menyelamatkan nyawa Mocca. 

Guntur tampak duduk di kursi panjang Rumah Sakit, sambil menutup wajah. Bilqis menangis sesengukan di samping Guntur. Sedangkan Amanda bersandar di dinding  dengan wajah begitu pucat, teriakan Mocca yang terakhir, terus terngiang- ngiang di telinga gadis itu.

"Karena gue bukan Devano..,"

"Apa maksud Devano mengatakan itu?" Rintih Amanda, mendekap mulutnya.

Papa - Mama Devano datang ke Rumah Sakit setelah ditelepon Dido. Pasangan suami - istri itu segera bertemu dengan remaja - remaja sahabat anaknya di depan ruang tindakan IGD.

"Apa yang terjadi? Ka-kami begitu terkejut, sejak Devano menghilang dari Rumah Sakit Jiwa tempo hari, sekarang tiba - tiba..," Papa Devano berkata dengan gundah.

"Maafkan kami, Om, memang kami yang membawa Devano keluar dari Rumah Sakit Jiwa," Dido berusaha menjelaskan.

"Ya Om, kami mengaku salah, tapi Devano tidak gila, Om," Raffa ikut bicara.

"Jangan kurung Devano di Rumah Sakit Jiwa, kasihan dia, Om," Bilqis berurai air mata mengiba.

"Tapi.." Papa Devano mengerutkan kening mendengar kata - kata para remaja yang bergantian berusaha menyakinkan dirinya bahwa Devano anaknya tidak gila.

"Ini semua karena Tante Helena, Om!"

"Tante Helena yang menjebak Devano!"

"Mbak Helena menjebak?!" Papa Devano mengangkat alis matanya.

"Ada buktinya, Om,"

"Tadinya Devano  sebenarnya ingin memberikan bukti itu pada Om," Dido teringat pada flashdisk yang mereka transfer isinya dari handphone Bilqis. Tapi jelas flashdisk itu sekarang tertinggal di kamarnya  karena kejadian ini.

"Bukti?"

Bilqis tiba - tiba  memandang Dido, yang langsung disambut dengan anggukan kepala oleh pemuda itu.

"Ini Om, bukti itu ada di handphone saya," Bilqis menyodorkan handphone-nya pada Papa Devano, dan pria berusia 40-an itu begitu terkejut saat melihat isi vlog Bilqis.

"Kenapa, Mas?" Tanya Mama Devano khawatir melihat perubahan raut wajah suaminya.

"A-aku tak mengira ternyata Mbak Helena selama ini...,"

"Maaf, apakah orang tua pasien Devano sudah datang?" Tiba - tiba seorang perawat keluar dari ruang tindakan IGD, membuat semua terperangah, dan  menoleh.

******

Dengan berbagai peralatan medis yang menghiasi tubuhnya, di ruang ICU, sudah tiga hari Mocca belum juga sadarkan diri.  Papa - Mama Devano sangat khawatir menyaksikan kondisi anak mereka satu - satunya itu.

"Emak..Emak..," apalagi dalam kondisinya yang memprihatinkan, racauan itu yang terus keluar dari mulut Mocca, membuat Mama Devano begitu bingung mendengar anaknya terus merintih dan meracau memanggil Emak.

"Siapa 'Emak', Mas? Kenapa anak kita terus memanggil 'Emak'?" Mama Devano berkata gundah, pada suaminya.

Ini sudah kali kedua, wanita cantik itu mendengar Mocca menyebut, 'Emak,' setelah dia mendengarnya saat Mocca kecanduan tempo hari, siapa Emak? Ke-kenapa anaknya mencari  - cari Emak dalam sakitnya, kenapa bukan mencari dia, ibunya?

"Entahlah, Angela," Papa Devano menghela napas, juga gundah. "Sepertinya seseorang yang disebut 'Emak' itu sangat penting bagi Devano,"

*****

"Ehm, di antara kalian, apakah ada yang mengenal seseorang yang bernama 'Emak'?"
Suatu siang, saat anak - anak Doppelganger, Bilqis dan Amanda datang membezuk, Papa Devano melontarkan pertanyaan itu.

Pria itu tampak sudah mulai putus asa, sudah hari keempat Devano anaknya masih tetap belum sadar. Dan hampir tiap hari, Angela istrinya menangis setiap kali mendengar Devano meracau, memanggil - manggil 'Emak'. Rasa penasaran memenuhi pikiran pria konglomerat itu.

"Emak?" Dido saling berpandangan dengan sahabat - sahabatnya.

"Entah ya?" Guntur mengangkat bahu.

"Hmm, setau gue, yang suka manggil ibunya dengan sebutan 'Emak' adalah si Mocca," cetus Raffa teringat.

"Mocca?" Papa Devano tercengang.

"Mocca adalah sahabat kita yang udah meninggal, Om," terang Dido.

"Eh, Mas," tiba - tiba Mama Devano menyentuh tangan suaminya. "Aku teringat, waktu kecanduan kemarin, Devano pernah meracau menyebut 'Mocca' 'juga, Mas, mungkinkah ada hubungannya?"

Papa Devano memandang istrinya, dengan alis terangkat.

"Maksudmu  Emak itu adalah Emaknya si Mocca?"

"Kita coba saja, Mas. Siapa tau..,"

*****

Emak dan Vava begitu bingung saat Dido dan Raffa menjemput mereka untuk pergi ke Rumah Sakit, atas suruhan Papa Devano.

"Kak Devano kecelakaan, Om, Tante?" Tanya Vava begitu khawatir saat mendengar cerita pasangan suami - istri itu. "Dan sampe sekarang belum sadar?"

"Ya, dan setiap hari dia terus memanggil - manggil Emak,"  Mama Devano berkata, begitu gundah.

"Jadi kami pikir mungkin ibu bisa membantu  membuat anak kami sadar kembali," pinta Papa Devano sambil memandang Emak. "Ya saya tau ibu pasti bingung dengan permintaan saya, tapi saya mohon..,"

"Ya Tuan Dirgantara, saya paham. Nak Devano adalah teman Vava, anak saya. Tentu jika memang saya bisa membuat Nak Devano sadar, saya akan membantu."

"Terima kasih, Bu,"

****

"Emak..,"

Emak hanya mendekap mulutnya, mendengar Mocca meracau, memanggil namanya, wanita itu teringat kata - kata Mocca saat mereka pertama bertemu tempo hari.

"Boleh saya memanggil Emak pada Ibu? Saya...Saya bersedia jadi anak Emak. Saya bersedia menggantikan anak Emak yang sudah meninggal, jika Emak berkenan,"

Dengan penuh rasa iba, tanpa terasa tangan wanita itu terjulur, membelai rambut Mocca perlahan.

"Kasihan anak ini, mungkin dia kekurangan kasih sayang orang tuanya," Emak terbayang penampilan Tuan dan Nyonya Dirgantara saat bertemu di ruang tunggu depan ruang ICU. "Mungkin orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan masing - masing, hingga anak ini mencari - cari perhatian denganku,"

Emak menghela napas, memandangi Mocca.

"Kamu sangat mirip dengan Mocca anakku," bisik Emak lembut. "Cepat sembuh ya, Nak? Papa dan Mamamu sangat mengkhawatirkanmu. Emak tau kamu kuat, kamu pasti bisa melewatinya...,"

"Emak..," terdengar Mocca masih meracau.

"Iya, ini Emak, Nak. Kamu tenang ya, Emak di sini kok, menemanimu,"

"Mocca capek...Mocca rindu Emak..,"

"Ooh?" Emak tersentak mendengar itu, matanya terbelalak, menatap begitu lekat wajah Mocca yang sedang berbicara di bawah alam sadarnya. "A-apa telingaku tidak salah dengar? Di-dia  se-sebut apa tadi?"

"Mocca....Mocca capek..,"

Emak bagai shock, saat Mama Devano  masuk ke ruangan itu.

"Bu, ini saya bawakan makanan dan minuman untuk Ibu,"

"Nyonya Dirgantara, siapa anak Nyonya sebenarnya?" Emak menoleh dan menatap nanar Mama Devano, membuat wanita cantik itu terperangah.

"Maksud Ibu?"

Aku Bukan DevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang