Bab 10 : Sekilas Cerita Masa Lalu

816 129 8
                                    

Mocca terkejut saat mengintip iphone-nya, membaca pesan - pesan WA yang masuk dan mengetahui kabar anak Doppelganger tetap turun menyerang Warrior walau tanpa kehadiran dirinya. Bahkan yang turun, tidak hanya genk Doppelganger saja tapi juga teman - teman, siswa SMA Dewantara yang lain.

Mocca tak tau, apakah dia harus marah karena Doppelganger turun tanpa memberitaunya atau justru terharu melihat kesetia-kawanan dan perhatian anak Doppelganger dan  teman - teman satu sekolahnya pada dirinya, pada kematiannya. Tapi dia sudah terlanjur bertengkar dengan Dido. Shit, gue harus gimana? Minta maaf dengan Dido? No way, ntar dulu, men!

"Pakai pisau dan garpumu!!"

Mocca nyaris terlompat kaget mendengar suara bentakan itu. Suara Papa Devano yang menggelegar, menegur Mocca, membuyarkan lamunan pemuda itu. Saat itu mereka sedang duduk menghadapi sarapan di meja makan. Mocca, Papa  dan Mama Devano.

Mocca mengumpat - umpat di dalam hati. Busyeet, padahal gue cuman makan roti doang, mosok  makan roti aja harus pake pisau dan garpu?? Kapan selesainya? Pantes Devano telat mulu masuk sekolah, acara makannya aja lama amat!!

"Iya, Om..Eh, Papa..,"

Mocca akhirnya memilih cari damai saja dengan Papa Devano. Perut gue udah keroncongan soalnya, ketimbang ntar gue malah dilarang makan pula kalo kagak pake pisau dan garpu. Okeey, baiklah! Mari kita coba!

Mocca setengah mati berusaha memotong roti sandwich-nya dengan pisau. Jadi orang kaya memang sulit juga ternyata, terlalu banyak aturan!

Mocca teringat dengan suasana sarapan di rumah Emak. Makan dengan cara sesukanya, sambil mengobrol dan becanda penuh kehangatan, walau dengan menu sarapan yang seadanya, kadang cuma roti bakar, kadang Emak membuatkan nasi goreng. Kalau sekarang? Mocca mendecak melihat begitu banyaknya menu sarapan yang terhidang sekaligus. Roti sandwich, nasi goreng, spaghetti, buah, susu, kopi, teh.

Tapi suasana di meja makan rumah Devano dirasakan begitu tegang oleh Mocca, dengan aturan makan yang kaku, Papa Devano yang pemarah, Mama Devano yang tampak tak peduli dengan suami dan anaknya, hanya sibuk menelepon sepanjang moment sarapan, entah siapa yang ditelepon, belum lagi para pelayan yang berjejer berdiri di belakang mereka membuat Mocca risih.

Anjritt! Mana gue sebetulnya udah begini tegang pagi ini, karena berita penyerangan anak Doppelganger. Eeh, dipersulit pula dengan segala macam tata cara makan. Bodo ah! Mocca melirik Papa - Mama Devano. Begitu keduanya tidak melihat, Mocca langsung membuang pisau dan garpunya, dan menyambar roti sandwich-nya dengan tangan dan langsung menyumpal mulutnya penuh - penuh dengan roti.

"Devano!!" Suara Papa Devano terdengar bagai petir menyambar.

"Uhuuk!!" Mocca nyaris tercekik, saking kagetnya. "Uuhuuk! Air? Mana air?"

Untung pelayan yang berdiri tepat di belakang kursi Mocca, dengan sigap menyodorkan segelas air pada Mocca, yang langsung ditenggak pemuda itu untuk melonggarkan tenggorokannya yang tercekik roti.

Begitu Mocca meletakkan gelas, pemuda itu hanya bisa cengengesan pasrah melihat Papa, bahkan Mama Devano,  tampak sedang mendelik garang ke arahnya.

"Kamu memang aneh sejak keluar dari Rumah Sakit! Ini pasti karena dampak kamu overdosis kemarin. Papa tak paham, entah bagaimana kamu bisa terseret narkoba,"  komentar Papa Devano tak senang.

Mocca hanya menatap pria itu dengan mata coklat mudanya, sambil mempermainkan garpu yang ada di samping piringnya.

Alamat gue diceramahin deh ni, gerutu Mocca  dalam hati. Diliriknya Mama Devano juga kini sudah meletakkan iphone- nya dan menatap Mocca.

"Papa sudah daftarkan kamu ke sekolah ternama di Australi, Devano, selesai semester ini, kamu berangkat!"

"Apa?!" Mocca menjatuhkan garpu yang dipegangnya. Pindah? Ke Australi? Bahasa Inggris gue bisanya yes - no doang, disuruh pindah ke Australi?? La-Lalu bagaimana Emak dan Vava? Berarti gue harus berpisah dengan mereka, yeah sekarang aja udah berpisah sih, keluh Mocca muram.

Aku Bukan DevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang